―44;

275 42 39
                                    

-Minggu Keduapuluh empat
Didi

"She fucking said that to you?!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"She fucking said that to you?!"

Aku mengangguk.

Prisca memukul stir. "Wah gila ya?! Tuh anak berani banget nyuruh-nyuruh lo begitu. Kan, bener kan gue. Gue udah nggak suka sama dia semenjak kita porseni kemaren. Makin ngeselin aja sekarang."

Kira-kira lima menit setelahnya, Prisca masih betah merepet tentang bagaimana dia tidak suka dengan Rere. Aku hanya berdoa di dalam hati semoga dalam perjalanan kami ke kampus pagi ini, akan baik-baik saja karna Prisca menyetir sambil emosi.

Akhirnya aku bercerita ke Prisca setelah aku tak tau harus mengeluarkan alasan apa lagi ketika tadi pagi Prisca datang menjemput ku ke rumah untuk menghadiri sidang akhir Aga hari ini. And it is so hard to resist her.

"Hhhhh jadi marah-marah kan gue!"

Aku tertawa saat melihat Prisca mencengkram stirnya kuat-kuat. Probably the first time I laughed since yesterday, ketika yang ku lakukan adalah terus termenung membayangkan bahwa akhirnya aku benar-benar harus menjauh dari Aga.

Belum genap sehari aku melakukannya, rasanya sudah terlalu berat untuk membayangkan bagaimana jadinya nanti kalau sudah tidak ada lagi Aga di dalam hari-hari ku. Binar matanya seperti saat dia bercerita tentang betapa kerennya Infinity War minggu lalu, kepalanya yang berat itu bersandar di bahu ku, ketawanya yang khas dan matanya yang menyipit, genggaman tangannya yang erat dan hangat, aroma cokelat dari tubuhnya, semuanya. Semuanya akan benar-benar menghilang.

"Terus lo gimana, De?"

Aku mengangkat bahu. "I said I'll do it. Kalo memang itu yang bikin semua baik-baik aja."

"Tapi nggak bisa gitu dong, De."

"Do I have a choice, Pris?" Aku memotong omongan Prisca. "Mungkin ini yang terbaik buat semua. Ini tuh bukan kejadian pertama kali. Dulu Ilham juga sempet minta aku jauhin Aga, kan? Ini bikin aku mikir kalau mungkin aku sama Aga tuh nggak akan pernah bisa dekat."

Prisca memelankan laju mobilnya begitu kami sudah memasuki gerbang kampus. Dia menengok ku sesekali.

"Kita cuma jadi penghalang buat satu sama lain, Pris." Kata ku lalu mendengus. "Waktu aku sama Ilham, yang jadi penghalang itu Aga. Dan sekarang aku yang jadi penghalang buat dia dan Rere. Mungkin kita... emang sebaiknya nggak usah temenan."

That's the bitter truth. Pil yang sedang berusaha ku telan dari kemaren bahwa mungkin aku dan Aga itu tidak akan mungkin bisa terjadi.

"I think I'm okay with it. Bentar lagi kita wisuda dan setelahnya akan jauh lebih gampang karena aku bakal jarang ketemu Aga dan mungkin, pelan-pelan perasaan ku ke Aga juga memudar."

Everything will get easier. Or at least, that's what I think.

"Is that what you really want? Will you be happy?"

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang