Epilogue

358 42 29
                                    

"As far as I can see,
There's only you,
And only me.

This is the last time I'll fall in love."

—Eric Bennet, The Last Time

---

"Dea, jangan lupa sepuluh menit lagi rapat bareng bu Sandra ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dea, jangan lupa sepuluh menit lagi rapat bareng bu Sandra ya."

Didi menoleh ke arah suara. Ia mengangguk setelah diletakkannya gelas kopi yang baru saja dia sesap untuk menghilangkan pusing di kepalanya. Padahal sepuluh menit lagi, kepalanya akan bertambah pusing karena ia harus rapat dengan chief editor-nya itu.

Genap dua tahun sudah Didi berkerja sebagai editor di perusahaan majalah arsitektur paling berpengaruh di Indonesia ini. Walaupun tidak menjadi arsitek yang seharusnya—merancang dan membangun bangunan—tapi Didi bersyukur. Untungnya dia sangat menikmati pekerjaannya sekarang. Berpergian ke tempat baru yang aspek arsitketuralnya bisa dia kagumi, mewawancarai arsitek terkenal di Indonesia, dan tentu saja masih ada kaitannya dengan fotografi.

"Gue mesti nenggak Promag nih biar maag gue nggak kambuh." Rekan kerjanya yang tadi mengingatkan Didi soal jadwal rapat, menghampirinya ke pantry. Segera mengambil sepapan kaplet berwarna hijau dari kotak obat dan segelas air putih.

Alis Didi memberengut, sejenak kemudian dia tertawa. "Hahaha karena mau rapat sama bu Sandra? Lebay banget deh Bel, sampai nenggak Promag segala."

Bella akhirnya menelan obat maag yang baru saja dimasukkannya ke mulut. Kemudian dia menghela napasnya lemah. "Ini tuh namanya antisipasi, De. Rapat kemaren aja sampai jam setengah lima, perut gue sakitnya dua hari, De. Bayangin hampir lima jam telat dari jadwal makan siang."

Didi tergelak lagi. Atasannya itu memang terkenal perfeksionis yang ingin segala halnya sempurna. Tanpa cela, walaupun karyawannya hampir masuk rumah sakit gara-gara memilih untuk rapat dibanding makan siang dan menyelamatkan perutnya, dia tidak peduli asalkan goal rapat terpenuhi hari itu juga. Profesionalisme dijunjung tinggi.

"Eh btw ya, De. Gue liat kaktus lo yang kemaren gue taksir, udah nggak ada lagi di meja lo. Ada yang minta ya?"

"Oooh." Didi mencuci tangannya di wastafel kemudian dikeringkannya dengan tisu. "Yang itu buat school project-nya Jamie. Buat menghias kelas katanya, yaudah deh."

"Pre-school udah serius amat, De?"

Didi mengangkat bahu. "Nggak tau. Nggak paham juga. Zaman udah milenial kali, Bel. Udah maju banget makin susah dimengerti."

Rekan kerjanya itu mengangguk-angguk lalu menghabiskan sisa air putih yang ada di gelasnya. Belum lama Didi memelihara kaktus walaupun dia menyukainya dari dulu. Tetapi, tiga tahun terakhir ini dia memutuskan untuk mulai merawat tanaman berduri itu. Semua berawal dari kiriman bibit kaktus pada tanggal delapan belas setiap bulan yang datang ke rumahnya. Dikemas rapi dalam pot kecil berwarna putih dan pita warna biru. Setiap bulan selama tiga tahun Didi terus mendapat kiriman kaktus sampai ia bingung hendak meletakkan dimana. Di rumah, di kantor, untuk tetangga dan teman-temannya, dan kaktusnya masih tersisa banyak di rumah.

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang