―23;

370 61 8
                                    

—Minggu Ketiga
Didi

Ada dua alasan yang membuat ku akhirnya berjalan panas-panasan dari gedung arsitektur ke fakultas siang ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada dua alasan yang membuat ku akhirnya berjalan panas-panasan dari gedung arsitektur ke fakultas siang ini. Yang pertama karena kampus terasa padat dengan mahasiswa baru yang diharuskan mencari tanda tangan seniornya, jadilah aku kabur dan meninggalkan Prisca sendirian. Yang kedua adalah aku dan Ilham berencana ke Kwitang hari ini, mau mencari tambahan referensi buku untuk skripsi nya. Sekalian pulangnya jalan-jalan dulu karena semenjak Ilham skripsian jadi agak susah mau jalan berdua.

Berbeda dengan gedung arsitektur yang ramai kalau emang lagi jadwal asistensi atau pengumpulan tugas, gedung fakultas rasanya terasa lebih hidup. Halaman luas gedung fakultas yang sudah tua ini selalu dipenuhi mahasiswa setiap hari. Banyak mahasiswa yang duduk-duduk di halaman sambil membaca buku, atau sekadar ngobrol. Ada banyak manusia dan semuanya sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.

Dan di antara banyaknya orang yang berada di fakultas hari ini, ada Aga yang kini sedang melambaikan tangan ke arah ku dengan kencangnya di penghujung gedung fakultas. Di sebelahnya ada Kevin, teman seangkatan kami dan satu divisi pengmas bareng Aga.

"Tangan kamu nggak sakit apa dadah-dadah kenceng banget kayak tadi?" Kata ku langsung begitu Aga sudah berjalan mendekat.

Dia menggeleng. "Nggak. Kan biar kamu liat."

Aku tertawa. Dasar anak aneh. Kevin langsung pamit duluan ke kampus dan meninggalkan aku dan Aga berdua yang masih betah berdiri di tengah-tengah jalan fakultas. "Kamu ngapain disini, Ga?"

"Ituu. Ngurusin perijinan buat acara bakti sosial yang bareng sama anak industri, tapi ternyata berkasnya belom dikasih ke dekan. TU-nya gaji buta nih."

Namanya juga Aga, kerjaannya ngomel mulu. Sambil sesekali pasang muka manyun yang bikin gemes pengen narik bibirnya yang sengaja dimancung-mancungin itu. "Terus, udah makan siang?"

"Hehe belom."

"IH YA AMPUN AGA!"

"Eeeeh denger dulu." Dia langsung meraih tangan ku. Menepuk-nepuk punggung tangan ku seolah udah antisipasi kalau aku bakal ngomel apaan ke dia. "Tadi tuh rencananya abis janjian sama dekan langsung makan siang kok. Eh gataunya ngaret banget sampai jam segini. Beneran, Di. Sumpah."

"Kebiasaan." Kata ku sambil mencubit pipi Aga kencang. Lalu aku merogoh sesuatu di dalam tote bag yang isinya tidak penuh karena memang tidak ada kuliah hari ini. Hanya dompet, handphone, kamera, notebook kecil dan cokelat pemberian Aga setiap hari-nya. "Nih makan ini dulu biar ganjel perut. Heran deh udah jam tiga belom makan siang."

"Ih ini kan cokelat dari aku. Ya buat kamu lah."

Ini orang masih aja bandel banget. "Sekarang tuh yang lebih butuh kamu. Aku udah makan siang. Ngeyel deh dibilangin."

Terus dia senyum-senyum sendiri. Apaan sih? Apa efek belum makan siang bisa sampai begini ya?

"Apa senyum-senyum?!"

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang