―13;

553 75 22
                                    

―Minggu kedelapan

Didi

Hari minggu ini, aku lebih memilih di rumah menemani ayah menonton acara TV favorit kami berdua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari minggu ini, aku lebih memilih di rumah menemani ayah menonton acara TV favorit kami berdua. Di samping aku tidak memilki acara apa pun, semenjak kuliah aku jadi jarang menghabiskan waktu berdua aja dengan ayah. Alasan lain adalah-yang mungkin sebenarnya juga jadi alasan utama-aku lagi berada di titik yang membuat ku malas bertemu Ilham.

Okay, aku akui ini mungkin salah ku, tapi rasanya tidak salah juga mempertahankan hal yang aku pilih kan?

Bahkan daritadi ayah membicarakan tentang bagaimana sebenarnya potensi Marquez untuk menjadi juara musim ini pun hanya lewat di telinga ku. Yang ku pikirkan sekarang malah Ilham yang masih marah dan sampai sekarang tidak membalas pesan Line terakhir yang ku kirim beberapa hari yang lalu.

Dibaca aja belum.

Semuanya bermula ketika aku lebih memilih Aga daripada Ilham. Bahkan masalahnya itu sesimpel itu dan aku sukses membuat Ilham diam di sepanjang perjalanan pulang ke rumah ku. Aku lebih memilih menghabiskan hari Sabtu depan bersama Aga dibanding Ilham dan dia marah akan keputusan ku.

Pertimbangan ku adalah aku sudah membuat janji terlebih dahulu dengan Aga. Ini bukan masalah Aga atau Ilham, tapi ini masalah janji dan kalau aku sudah berjanji, sekuat apapun aku akan berusaha untuk menepatinya.

"Bahkan kamu nggak mau having fun bareng aku dan lebih milih sahabat kamu itu."

Aku menghela napas ku waktu itu. Berapa banyak pun aku mencoba menjelaskan, rasanya Ilham tidak akan mengerti. "Ham, bukan gitu. Aku udah janji mau nemenin Aga seleksi awal Sabtu ini masa kamu nggak ngerti sih?"

"Aku pacar kamu, De."

"Aga sahabat aku, Ham. Kamu jangan banding-bandingin gitu dong. Aku bahkan nggak ada niat buat banding-bandingin kalian."

"Kamu nggak niat, De. Kamu udah melakukannya sekarang."

Sore itu, di persimpangan terakhir menuju rumah ku, hening menghampiri kami berdua. Tidak ada pembelaan yang keluar dari mulut ku, tidak ada juga kata-kata lagi yang keluar dari mulut Ilham. Sampai aku turun pun, Ilham masih diam.

Sampai sekarang.

"-mun aja."

Aku terperanjat dengan sentuhan di bahu kanan ku. Begitu aku menoleh, wajah Ayah yang tertangkap pandangan. "Eh iya, kenapa yah?"

"Harusnya ayah yang nanya Didi, Didi kenapa?"

Sepertinya ayah memergoki ku sedang melamun. "Emang Didi kenapa, yah?"

"Didi kalau ada masalah, bilang sama ayah. Apa gunanya seorang ayah kalau dia nggak bisa meringankan masalah anak perempuannya?"

Dan sekarang kenapa rasanya aku ingin menangis? "Didi nggak kenapa-kenapa, yah. Kalau Didi punya masalah, Didi pasti cerita kok, kalau Didi nggak cerita, berarti Didi masih bisa handle masalah Didi yah."

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang