―26;

380 66 22
                                    

—Minggu Ketujuh
Didi

Hampir tiga hari berturut-turut aku menghabiskan waktu lebih banyak dengan kamera ku daripada bercengkrama dengan manusia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir tiga hari berturut-turut aku menghabiskan waktu lebih banyak dengan kamera ku daripada bercengkrama dengan manusia. Tidak dengan Aga, Prisca, Ibas atau pun ayah yang tadi harus berangkat lagi ke Pontianak untuk urusan perkerjaan. This time I prefer silence better walaupun daritadi Rihanna terus-terusan menyanyikan Take a Bow di telinga ku hampir di sepanjang jalan.

Hari ini tujuan ku adalah pasar bunga Rawa Belong yang dulu sempat jadi tempat favorit ibu. Aku ingat aku masih kelas tiga SD waktu itu dan ibu dengan sabarnya mengajari ku tentang arti tiap jenis dan warna bunga yang kami lewati. Waktu itu ibu bilang bunga favorit beliau adalah bunga melati.

"Kan bunganya kecil, bu?"

Ibu tersenyum waktu itu. Lalu kepala ku diusap pelan. "Bunganya memang kecil, Didi. Bunga melati itu artinya kemurnian dan rasa cinta yang selama-lamanya. Ada arti yang besar di balik bentuknya yang sederhana ini."

Waktu itu aku lebih memilih menyukai bunga matahari yang besar dan cerah dibanding bunga melati yang kecil dan pucat. Tau apa anak kelas tiga SD tentang arti cinta selama-lamanya?

Aku tersenyum begitu ibu-ibu penjual bunga di depan ku memberikan sebuket bunga melati yang dibungkus dengan koran kepada ku. Wanginya bahkan mengingatkan ku dengan ibu. Kalau memang melati melambangkan cinta selama-lamanya, maka ibu pasti tau bahwa beliau akan selamanya menjadi cinta ku setiap kali aku menaruh bunga ini di makam ibu.

Kalau saja ibu masih disini, mungkin pertanyaan ku sekarang adalah bunga apa yang menggambarkan kebodohan, patah hati, penyesalan, naif dan kebencian digabung menjadi satu? Apapun jawaban ibu, mungkin aku membeli dan mengirim satu buket ke rumah Ilham.

Bukan, bukan membeli bunga untuk Ilham tujuan ku ke sini. I'm not that brave to do that, anyway.

Aku hanya butuh istirahat sejenak dari hari-hari ku yang rasanya terlalu melelahkan. Terlalu melelahkan untuk terus-terusan menangis sampai membuat mata ku bengkak dan iritasi. I've had enough crying for the past two weeks.

Ilham Wiryawan: De, sibuk?
Ilham Wiryawan: Aku bikin lagu baru. Dengerin ya? You're the first person hearing this.
Ilham Wiryawan: Dengerin ya, sayang?

Aku kembali memasukkan handphone ku ke dalam saku. Mengabaikan pesan Ilham seperti yang akhir-akhir ini ku lakukan. Mengabaikan pesan-pesan yang selalu berisi sama, " Dea, kamu dimana?" "Dea, aku minta maaf." "Dea, aku mau ketemu. Kangen, De." Dan yang paling baru aku disuruh mendengarkan lagu barunya.

Well, Ham. Your Dea has no time to listen your new song. Tentang apa pula sekarang? Tentang pacar baru kamu itu?

Aku pernah membaca quote di salah satu akun quote-quote murahan di Instagram—yet I still read it anyway. Katanya, kembali menjalani hubungan dengan mantan itu sama artinya dengan membaca novel yang sama untuk kedua kali. The same story, same ending, nothing change. Sama dengan menjalani hubungan dengan orang yang sama, sifat yang sama, hubungan yang sama. Dulu berakhir karena bosan, maka mungkin akan terjadi lagi. Dulu berakhir karena dia selingkuh, then he'll do the exact same thing. Intinya adalah, untuk apa menjalani hubungan yang pada akhirnya kita hanya mengalami sakit hati yang sama untuk kedua kalinya.

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang