―30;

281 43 18
                                    

—Minggu Keenam
Didi

Tidak ada perasaan lain selain lega ketika siang ini aku berdiri di depan panggung besar menyaksikan band kampus yang sedang membawakan lagu mereka, dengan segala perintilan dekorasi yang dari beberapa minggu yang lalu dibuat dengan susah payah te...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada perasaan lain selain lega ketika siang ini aku berdiri di depan panggung besar menyaksikan band kampus yang sedang membawakan lagu mereka, dengan segala perintilan dekorasi yang dari beberapa minggu yang lalu dibuat dengan susah payah telah terpasang di berbagai sudut lapangan parkir arsi yang sudah ramai dengan orang-orang. Yang paling penting, backdrop sudah terpampang sempurna setelah kemarin malam sempat salah ukuran dan membuat panitia panik.

Oh iya, satu perasaan lain mungkin adalah bangga terhadap Ibas yang semenjak hari pertama tercetusnya acara ini, Ibas tidak pernah menyerah sedikit pun. Terlaksananya acara ini pasti bikin Ibas bahagia dan lega.

"Dea!"

Aku menoleh ke arah suara. Prisca, dengan senyuman gemasnya sambil mengangkat dua cup plastik yang ada di tangannya. Lalu ia memberikan satunya pada ku. Iced lemon tea.

"Minum dulu, De. Nggak capek daritadi berdiri terus?"

"Ehehe makasih ya, Pris. Baik banget sampe dibeliin." Aku membiarkan kamera ku bergantung di leher lalu meneguk minuman pemberian Prisca. "Kamu darimana, Pris?"

"Dari backstage, disuruh Ibas temenin. Ini aja gue kabur biar bisa keliling. Kenapa, ada yang mau dibantuin?"

Aku buru-buru menggeleng. "Nggak apa-apa, Cuma daritadi aku sendirian nih, bosen juga."

"Loh gue pikir lo sama Bina?"

"Nggak, Bina jadinya megang instagram, Pris."

Prisca lalu mengangguk sambil menyeruput minumannya. Tangannya kemudian meraih strap kamera ku. "Lucu ih, yang dikasih Aga kemaren ya?"

Aku melirik strap kamera bermotif tribal berwarna biru di tangan Prisca, lalu aku mengangguk. Ini hadiah ulang tahun dari Aga setahun yang lalu, strap kamera lengkap dengan tasnya yang juga bermotif sama. Waktu itu ia menitipkan pemberiannya ke mbak Ayu, selanjutnya yang ku tau kalau pengirimnya adalah Aga dari surat yang ia selipkan bersama hadiahnya.

"Happy birthday, Didi! Keep taking a lot of good pictures, Di. (Re: my pictures ehe) –Aga ganteng."

Awalnya aku termasuk orang-orang yang tidak begitu merayakan ulang tahun. Di rumah, setiap aku berulang tahun, ayah hanya akan mengucapkan selamat pada pagi hari dan selesai. Tidak ada perayaan. Apalah arti dari perayaan berkurangnya umur? Lalu kebiasaannya berubah semenjak aku mengenal Ilham dan ulang tahun ku diisi dengan suara beratnya menyanyikan lagu ulang tahun tepat jam dua belas malam setiap tanggal 18 Februari. Lalu setelah menjadi mahasiswa, ada Prisca dan Ibas yang heboh membawakan kue juga hadiah dan hari lahir ku selalu ditutup dengan telepon dari Aga sejam sebelum tanggal 18 Februari berakhir.

"De, btw kita coba makan siang di bazaar aja yuk? Gue bosen juga nih makan di kantek mulu." Celetuk Prisca tiba-tiba. "Gue udah laper heu."

"Boleh-boleh, jarang juga kan ada bazaar begini di kampus."

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang