(COMPLETED)
Ini tentang cinta yang membutuhkan waktu.
Ini tentang Aga yang menemukan cinta di mata Didi dalam waktu yang singkat.
Ini tentang Didi yang terlambat menyadari bahwa Aga adalah laki-laki yang diinginkannya.
Ini tentang cinta yang membutu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gue ini kenapa?
Satu anak panah gue kembali menancap di papan target. Sehabis kelas konstruksi tadi, gue langsung menuju ke lapangan, padahal hari Senin nggak ada jadwal buat latihan archery. Gue mungkin terlalu fokus memanah sampai tadi gue kaget kalo ternyata gue diliatin orang-orang.
Ya goblok, siapa yang nggak heran ada yang main panah di siang mendung banyak angin kayak gini.
Gue mungkin sebutuh itu sebuah distraksi dari emosi yang menggebu-gebu di dalam badan gue. Semua energi gue kerahkan bahkan gue udah nggak peduli lagi sama terpaan angin yang sering banget bikin anak panah gue oleng nabrak tiang target atau malah menancap ke tanah.
Ini gue kenapa jadi bucin begini? Nggak pernah banget sih seorang Aga jadi bucin.
Terakhir kali gue emosi kayak gini itu pas si Anja bikin novel The Lost Symbol-nya Dan Brown yang baru aja gue beli, basah kuyup karena dia tinggalin di teras. Abang gue yang bangsat itu minjem buku gue buat foto untuk feed Instagram-nya dia. Terakhir, gue robek ban motornya biar dia nggak jadi jalan sama ceweknya.
Rasanya sama. Waktu itu gue pengin banget nonjok Anja. Gue mahal-mahal shipping dari luar negeri biar dapet hard cover dan tanda tangan Dan Brown-nya langsung dan dia dengan gobloknya merusak buku baru gue.
Sekarang juga gue pengin nonjok orang rasanya. Gue bukan pengin nonjok Didi ya, malah gue pengen nonjok si Caplang.
Daritadi gue bertanya-tanya, sebenernya gue wajar nggak sih kalo gue jadi seemosi ini? Rasanya akan wajar kalau gue emosi karena buku gue dibasahin sama abang gue karena jelas-jelas itu buku milik gue dan faktanya emang si Anja yang ngerusakin.
Apa jadinya bakal wajar kalau gue emosi karena selama ini Didi menghilang di kampus karena dia harus berada di rumah sakit untuk bersama si Caplang? Apa jadinya bakal wajar kalo karena gue tau Didi nggak tahan lama-lama di rumah sakit dan ternyata si Caplang membuat dia nggak punya pilihan selain memaksakan diri menghadapi traumanya sendiri?
Apa jadi nggak wajar karena Didi bukan milik gue?
Didi cuma sahabat gue. Siapalah gue ini dibandingkan dengan si Caplang yang dia sayang setengah mati itu?
Bersamaan dengan pikiran yang menohok gue itu, panah terakhir yang gue tembak malah memantul ke tiang target lalu terjatuh ke tanah. Gue jadi nggak mood. Mana sih yang ngomong archery bisa ningkatin kesabaran? Ketemu gue sini, buktinya gue masih emosi disini.
Sialan.
Damn it, gue sekangen itu sama Didi.
Gue pengin ketemu Didi, tapi gue masih kesel. Tapi gue kangen. Tapi gue takut kalau nanti gue malah marah-marah ke Didi.
Gue ke rumahnya aja kali ya?
Didi
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
