―32;

358 45 25
                                    

—Minggu Kedelapan belas
Didi

—Minggu Kedelapan belasDidi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Didi udah makan?"

Adalah kata kedua yang diucapkan nenek setelah, "Didi, nenek rindu," sejak kami bertemu tadi. Aku sedang berada di rumah tante Fira—adiknya Ayah—di Purwakarta yang mengundang kami makan bersama karena nenek datang dari Medan. Padahal aku sedang dalam minggu ujian tapi aku menyetujui ajakan ayah untuk ikut kesini.

Alasan ku yang pertama adalah karena aku merindukan suasana kekeluargaan seperti ini yang jarang ku dapatkan di rumah. Suara yang riuh, ruang keluarga yang penuh, makanan yang rasanya sampai besok pun tidak akan habis—tipikal orang Sumatera—dan aura kebahagiaan yang terpancar dari wajah ayah karena nenek datang berkunjung. Mungkin ada sepupu-sepupu ku yang tidak menyukai acara keluarga seperti ini, tetapi buat ku yang merasakan ini sekali-sekali, ini justru adalah momen yang ku tunggu-tunggu.

Alasan kedua adalah rasanya aku butuh pelarian dari segala hal yang terjadi belakangan ini di hidup ku. Tugas besar perancangan yang akhirnya selesai itu, seluruh berkas pra desain dan gambar kerjanya. Lalu ada laporan pertanggung jawaban selama masa kepemimpinan angkatan ku di ikatan dan kebetulan aku adalah sekretaris divisi Humas. Lalu yang paling utama adalah debaran yang selalu muncul ketika aku berada di dekat Aga semenjak malam menginap di rumah Prisca waktu itu.

How can things change so quickly? Bagaimana bisa sekarang ada yang berubah setiap kali aku beradu pandang dengan Aga? Bagaimana bisa ada yang berubah setiap kali aku melihat senyum tipis terulas di bibir Aga? Bagaimana bisa ada yang berubah setiap kali aku mendengar suara Aga memanggil nama ku?

Bagaimana bisa debar itu muncul? Bagaimana bisa hati ku berdesir setiap berada di dekat Aga?

Even over the small thing like whenever his name popped up on my phone screen. Debarnya itu muncul lagi.

Dan aku bingung merespon segala perubahan ini. Tidak sama membingungkan saat nenek menawarkan segala menu kesukaan ku ketika aku menjawab, "belum, nek." Bingungnya pun berbeda dengan yang ku rasakan begitu Prisca menanyakan kesimpulan cerita dari film Predestination. Atau bingung saat aku harus memilih yoghurt strawberry Heavenly Blush atau es krim vanilla.

Setiap kali hati ku berdesir karena Aga, setiap kali aku juga berpikir apakah aku harus membiarkan ini terjadi, atau aku harus cepat-cepat mengontrol agar desiran ini berhenti. Menghilang. Tidak ada sama sekali seperti biasanya.

What am I doing? I supposed to find some distraction here. Tapi yang ku lakukan malah memutar kembali memori ketika Aga memeluk ku singkat pada hari pengumpulan tugas besar beberapa minggu lalu.

"Di, akhirnyaaa. Seneng banget ngedesain hotel akhirnya selesai."

Katanya sebelum memeluk ku singkat dan menepuk pundak ku pelan. Hal yang sudah biasa kami lakukan saat pengumpulan tugas yang sukses menguras tenaga dan pikiran. Hal yang sudah biasa kami lakukan tapi memberikan efek yang berbeda kepada ku kali ini.

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang