―41;

200 36 31
                                    

-Minggu Keempat belas
Didi

"Duh mau digimanain lagi ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Duh mau digimanain lagi ya?"

Aku menoleh ke Gia yang sedang menggaruk kepalanya. Tangannya masih sibuk menggerak-gerakkan mouse, memutar-mutar model bangunannya di SketchUp setelah kami selesai asistensi dengan bu Dian barusan.

"Padahal menurut aku, mau diliat berapa kali juga udah kental banget kok aksen arsitektur jawanya. Bu Dian nggak minta spesifik ya tadi, Gi?"

"Nggaak, De. Makanya gue stress. Mau ditambahin apa lagi coba? Lama-lama atapnya gue ganti blangkon nih."

Aku tertawa mendengar ocehan Gia, kepala ku benar-benar membayangkan hotel yang dibangun Gia beratapkan blangkon.

Kalau dari desain Gia yang harus direvisi adalah bentuk fasadnya, lagi-lagi revisi ku kali ini adalah sirkulasi basement yang rasanya sudah diakali sedemikian rupa namun tetap saja belum bisa membuat bu Dian approve.

"Ah ntar aja deh." Cetus Gia pada akhirnya. Lalu ia menutup laptop. "Oh iya, De. Lo udah tau mau bikin maket dimana?"

Just so you know, tahun akhir kuliah berarti menguras tenaga, menguras pikiran, menguras emosi, dan menguras dompet. Entah sudah berapa uang yang ku keluarkan untuk nge-print lembaran-lembaran kertas asistensi untuk skripsi ini. Belum lagi syarat sidang hasil juga menyertakan maket yang lagi-lagi biaya bikinnya sama sekali tidak murah.

Aku menggeleng. "Belom nih, Gi. Kemaren sempet ada pikiran mau bikin sendiri tapi kayaknya nggak bakal terkejar ya. Kamu udah ketemu, Gi?"

"Kemaren tuh gue udah mau minta tolong sama junior ya, eh tadi Aga nunjukin tempat dia bikin maket dimana dan kalo diliat sih hasilnya rapi banget. Kayaknya gue bakal pake yang dikasih tau Aga deh, De. Mau bareng aja nggak?"

Aku tidak menjawab Gia. Kepala ku justru membawa ku ke kejadian dua minggu lalu yang sampai sekarang masih belum bisa ku hilangkan dari memori.

Whiplash. Cold pizza. That damn tomato ketchup.

That night when we almost kissed.

Setelahnya aku mengangguk dan di saat Gia lanjut menjelaskan tentang struktur desain hotelnya, di kepala ku masih mengingat kejadian dua minggu lalu yang tidak bisa ku lupa. I even remember every details of it.

Saat hangatnya tangan Aga menyentuh pipi ku, di saat yang hanya bisa ku lakukan adalah berdiam, membeku. Begitu aku memejamkan mata seperti ada bunyi desingan roda yang ku dengar saat kami di Sepang berdengung di telinga. Di saat akhirnya akal sehat ku kembali dan perlahan menarik diri. Air mata ku ketika aku sudah kembali ke kamar. Tatapan mata Aga keesokan harinya. Hening di sepanjang perjalanan kami menuju Jakarta.

Dua minggu sejak kejadian malam itu and my pretending game is up on another level now. Aku harus berpura-pura pada diri ku bahwa the whole thing we did in Malaysia was never happened. Aku harus berpura-pura pada Aga bahwa aku benar-benar telah melupakan kejadian di antara kami. Lalu aku harus berpura-pura lagi kepada Prisca dan Ibas bahwa tidak ada yang canggung di antara aku dan Aga setelah kepulangan kami dari Malaysia.

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang