―43;

227 37 56
                                    

-Minggu Keduapuluh tiga
Aga

-Minggu Keduapuluh tigaAga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku bantuin ya, Di?"

Didi, dengan tumpukan eksemplar skripsi di pelukannya, rok sepan yang membatasi langkahnya, dan masih harus membawa tote bag dan maket berukuran 1x1 meter, tentu aja dia keliatan butuh bantuan. Ekspresinya terlihat kaget waktu gue datang menghampiri dia.

"Aku bisa kok, Ga."

Gue menghela napas. "Gimana caranya kamu bisa bawa maket ini kalo tangan kamu aja udah penuh sama skripsi? Aku bantuin ya?"

Didi nggak bisa menolak lagi begitu tangan gue sudah membawa maketnya yang besar itu. "Makasih ya. Kamu kenapa datengnya pagi-pagi banget?"

"Kan kamu sidang hari ini, Di. Makanya aku dateng pagi-pagi. Masa aku nggak dateng kamu sidang akhir. Prisca sama Ibas juga udah di jalan tuh."

Jawaban Didi cuma tersenyum. Sampai kita akhirnya udah di galeri, nggak ada obrolan lagi di antara kita berdua dan berakhir dengan Didi berterimakasih lagi ke gue. Selanjutnya gue cuma nungguin di luar sampai Didi selesai sidang.

Itu dua hari yang lalu. Hari terakhir gue bisa ngobrol sama Didi seharian walaupun tetap dengan dia menghindari tatapan mata gue dan segala perlakuannya yang jelas menghindari gue. Hari ini, hari dimana seminggu lagi gue yang sidang akhir, hari yang dimana harusnya gue mengecek kelengkapan skripsi gue, atau hari dimana gue harusnya mempersiapkan diri, tapi gue rela ke kampus siang ini karena gue tau, Didi juga ke kampus untuk mengurus berkas sidang akhir.

All of this for one reason.

Gue butuh memastikan sesuatu. Beberapa bulan ini, intensitas pertemuan gue dan Didi yang berkurang, tapi intensitas debaran jantung gue yang justru rasanya terus bertambah kecepatannya setiap gue berinteraksi dengan Didi. Rasa yang menggebu-gebu di dalam diri gue hanya untuk sekadar melihat wajahnya atau mendengar suaranya. Rasa-rasa baru yang akhir-akhir ini muncul tapi terlalu terasa familiar buat gue.

Rasa yang udah berbulan-bulan ini terus mengganggu gue.

Yang nggak bisa gue hindari juga adalah gue mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan kalau gue memang menginginkan Didi. Lagi. Mencari-cari alasan kalau mungkin memang ada Didi di hati gue. Ini nggak mungkin hal yang biasa karena gue nggak berhenti mempertanyakan kenapa Didi menerima perlakuan gue malam itu. Atau kalau gue memang biasa aja, gue nggak akan mungkin terus mengingat debar jantung gue saat Didi memejamkan matanya di depan gue.

Kalau memang yang gue dan Didi punya cuma platonic, but we stared for a little too long. This silence is too uncomfortable. We shared too many secrets. This heartbeat-halah, Ga-nggak mungkin ada kalo gue biasa aja.

Tinggal tunggu meledak aja nih kepala gue

Gue cuma nggak mau menyakiti Rere-or I have, actually-lebih lama lagi dengan segala yang gue alami ini. Cukup dengan di saat gue bersama Rere, kepala gue justru sibuk dengan Didi. Dengan gue makan siang bareng Rere, tapi mata gue sibuk mencari keberadaan Didi di meja lain. Gue punya Rere, tapi gue justru mencari Didi.

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang