―19;

381 69 10
                                    

—Minggu Pertama
Didi

—Minggu PertamaDidi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bas, sini deh. Ini aku nggak ngerti proyeksiin potongannya. Boleh bantuin nggak?"

Ibas yang baru masuk studio langsung duduk di samping ku. Menaruh botol aqua dan keripik singkong yang dibelinya di fotokopi ke meja. "Bingung gimana, De?"

"Ini. Kan denahnya bentuknya zigzag gini. Agak susah proyeksiin biar kepotong semua, Bas." Kata ku menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk denah di layar laptop.

Ibas mengambil alih mouse yang ku genggam. Kami bertiga setuju kalau Ibas lah yang paling mahir dalam dunia arsitektur. Dalam segi sketsa, segi teknik sampai estetika. Nanya sama Ibas juga enak banget, dia semacam problem solver sekaligus ngajarin.

Dari pagi aku sudah di kampus padahal kelas ku masih jam satu siang. Semua karena tugas kecil dari ayah yang masih membuatku buntu di potongan. Padahal hanya rumah biasa tapi denahnya agak rumit. Mungkin karena ini belum makanan ku yang masih mahasiswa perancangan kedua.

Disini aku hanya berdua dengan Ibas. Kelas Aga dan Prisca dimulai lebih pagi. Tadi aku juga agak kaget tiba-tiba ada Ibas di studio, ternyata dia ada asistensi jam delapan tadi.

"De, kayaknya lo mesti potong di masing-masing sisi deh. Gue udah coba kasih garis diagonal tetep aja nggak keliatan semua."

Aku menghela napas. Itu yang ku pusingkan dari kemarin. "Iya kan, Bas. Aku juga kemarin udah coba tapi ya nggak keliatan semua."

Jadi potongannya mesti banyak dong? Haduh.

"Ini gue coba dulu deh, De. Emang ini tugas apaan sih?"

"Bukan tugas, Bas. Ini denah rumah temennya ayah ku. Beliau minta tolong bikinin gambar kerjanya."

"Oooh proyek?" Tanya Ibas sambil tersenyum jail.

Aku mengangguk pelan. Agak malu sama Ibas yang langganan dapat proyek dari dosen atau siapapun.

"Eh ada kalian berdua?"

Aku dan Ibas menoleh. Ada Prisca yang berjalan mendekat ke arah kami. Kelasnya udah selesai ternyata, tapi aku tidak melihat Aga.

"Gue ada asistensi. Ini si Dea ada proyek." Kata Ibas menunjuk ku.

"Ibas ah. Udah selesai kelasnya, Pris?"

Prisca mengangguk semangat. "Udah. Bersyukur banget gue, tadi AC di ruang B10 lagi mati, jadi panas banget berasa di neraka."

Aku tertawa. Rempongnya Prisca pasti di kelas dia heboh kipas-kipas. "Aga mana?"

"Gatau. Tadi ke belakang dulu. Ganti baju kayaknya, baju doi basah kuyup karena keringetan."

Aku langsung bisa membayangkan betapa tersiksanya Aga selama kelas Arsitektur Kota tadi. Aga itu paling tidak tahan dengan yang namanya panas. Dia akan heboh mengambil apapun yang bisa dijadikannya kipas atau segera mencari tempat yang paling sejuk untuk ngadem.

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang