PART 14

359 15 5
                                    

*KEY POV*

     Sudah pukul 12 siang. Waktunya istirahat. Aku harus pergi ke kantin, memenuhi janjiku pada Naya untuk menemuinya siang ini. Sesampainya di kantin, aku memutuskan untuk memesan makanan terlebih dulu. Sambil meluaskan pandanganku mengelilingi isi kantin ini, mencari keberadaan Naya–temanku.

“Key...?!” Seseorang berteriak dari kejauhan. Melambaikan tangannya ke arahku. Ya, itu Naya. Dia sudah datang.

Aku menghampirinya.

“Aku merindukanmu, Key.” Ucapnya.

“Begitupun denganku.” Kemudian aku memeluk Naya. Rasa rinduku terhadapnya sudah terbayar hari ini. “Oh ya, aku sudah memesan makanan untukmu juga.” lanjutku memberitahu.

Kami duduk berhadapan, rasanya sudah tidak sabar ingin menceritakan banyak hal kepada Naya.

“Kau kemana saja, Key? kau menghilang sejak kita lulus SMA,” Naya memegang tanganku. Memberikan tatapan padaku cukup dalam.

Aku menghela napas kasar. “Ceritanya panjang.” Jawabku dengan tatapan sendu.

“Apa kau sudah lama bekerja di sini?” tanyanya kemudian.

“Baru kemarin,”

“Kemarin? pantas saja aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Tapi, aku bersyukur karena bisa bertemu denganmu lagi, Key.” Naya tersenyum. Jelas sekali di wajahnya bahwa ia tengah bahagia saat ini.

“Aku juga.”

“Kau tinggal di mana sekarang? ah ya, saat libur semester aku pernah mencoba datang langsung ke rumahmu, tapi kau tidak ada. Bahkan sudah berganti penghuni,” Aku belum menjawab. Kemudian pelayan kantin mengantar pesanan kami. “Terima kasih.” Ujar Naya.

“Iya, rumah itu sudah disita Bank.”

“Disita? kenapa bisa? lalu kau sekarang tinggal dimana?” kedua mata Naya membulat sempurna. Ia benar-benar terkejut–sepertinya.

“Aku tinggal di apar–?” ah tidak. Tidak mungkin aku mengatakan pada Naya, jika aku sekarang tinggal bersama Kenzie dan Aldi. Yang tidak lain adalah Bos kami. “Emm... Maksudku, aku tinggal di rumah baru. Ya, aku mengontrak.” Aku berhasil memutar otakku, dan mengutarakan jawaban yang menurutku tepat.

“Kau masih bersama orang tuamu, kan? apa kabar mereka? dan nenekmu?” Naya terus saja mengejarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan aku–tidak sanggup–untuk menjawabnya.

Aku menggeleng sembari tersenyum. “Tidak. Aku tinggal sendiri.”

“Apa  orang tuamu tidak di kota ini?” tanyanya kemduan sembari meminum Orenge Juice di hadapannya.

Aku menggeleng sembari tersenyum–lagi. “Perusahaan ayahku mengalami kebangkrutan. Ayah mengajak ibuku ke Turki dengan tujuan untuk memulihkan kondisi perusahaan. Dan nenek? nenekku meninggal, Nay.” Kedua netraku mulai berair. Sesekali aku menghadap ke atas agar air mataku tidak terjatuh. Bahkan aku mengingat perkataan Bu Aarti, aku tidak boleh menundukkan kepalaku. Nanti mahkotaku akan terjatuh. Lagi pula, tidak ada gunanya berlarut dalam kesedihan ini.

“Keysha, aku mengenalmu. Kau gadis yang kuat. Jika kedua orang tuamu belum kembali sampai sekarang? percayalah, suatu saat mereka akan kembali. Jika perlu, aku siap menemanimu pergi ke Turki untuk mencari mereka.” Kedua netraku tidak bisa ku tahan lagi. Satu butiran bening berhasil mendarat mulus di pipiku. Aku berdiri. Naya pu berdiri kemudian aku menghambur pada pelukannya.

“Terima Kasih, Nay. Ku pikir kau telah berubah.” Ucapku dalam pelukannya.

“Tidak. Aku tidak akan berubah untuk sahabatku.” Jawab Naya.

DESTINY [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang