Bersama petang, senja memberi sepucuk surat bahagia. Dan bersama senja, petang melebur kabar duka.
***
Letta berjongkok memeluk erat gadis kecil itu dalam dekapannya. Gadis kecil itu masih menangis, tubuhnya bergetar, begitupula dengan tubuh Letta. Gempa baru saja berhenti sekitar 3 menit yang lalu. Semua orang yang ada di pusat pengungsian masih panik dengan kejadian barusan.
“Udah, jangan nangis yaa. Udah berhenti kok.” ucap Letta menenangkan gadis kecil itu sekaligus menenangkan dirinya pula.
“Echiiii..” teriak seseorang. Dan itu membuat gadis kecil dalam dekapan Letta melepaskan pelukannya.
“Bundaaa…” gadis itu berteriak pula saat melihat seorang wanita berlari kearah mereka. Dan gadis kecil itupun berlari kearah wanita itu.
Sedang Letta yang sudah tidak memeluk siapa-siapa hanya terdiam dengan tubuh yang masih bergetar.
Sebuah kaki melangkah ke arah Letta, kaki dengan sneakers putih dengan semburat abu-abu menjatuhkan lututnya ke tanah, tampak wajah si pemilik kaki, Gevin.
“Nih, Ta! Minum dulu!” Gevin menyodorkan sebotol air mineral. “Lho? Mana anak kecil tadi.”
Letta menunjuk gadis kecil yang ia peluk tadi, sudah berada dalam pelukan ibunya.
“Huft! Untunglah dia udah ketemu ibunya.” ucap Gevin. Letta tidak mempedulikan.
“Ta? Lo kenapa?” tanya Gevin saat melihat tubuh Letta yang bergetar hebat. Dan tatapannya seakan menerawang.
--
Bbrrruuuuuukk!! Sebuah suara timbul dari sentuhan kasar tulang punggung dan tonggak lampu itu.
Seorang lelaki berompi Tim Relawan dengan sigap membiarkan punggungnya berciuman dengan tonggak lampu yang cukup berat agar orang yang berada dibawanya itu tidak terkena timpaan.
“Geviin?” teriak Letta saat melihat lelaki yang menutupinya dari tumbangan tonggak itu.
Yaa.. Gevin, itu jelas sekali bahwa lelaki yang menutupinya dari timpaan itu adalah Gevin.
“Lo gak apa-apa’kan?” tanya Gevin saat sedetik yang lalu tonggak itu menimpa punggungnya.
“Gee?” panggil Letta lirih, seakan bertanya ‘Lo baik-baik aja?’
“Gue oke kok.” jawab Gevin, seperti membaca pikiran Letta.
Gevin langsung membantu Letta berdiri, tepat setelah timpaan itu gempa pun berhenti. Sedang Letta tidak bersuara lagi, dan saat itulah tubuhnya mulai bergetar.
--
Kembali teringat oleh Letta, saat tonggak itu menimpa punggung Gevin, raut lelaki itu tampak seperti menahan sakit. Ekspresi itu terpampang jelas pada benak Letta. “Lo gak apa-apa, Ge?” tanya Letta dengan tubuhnya yang masih bergetar.
“Gak usah khawatirkan Gue! Khawatirin aja diri Lo. Lo sampai kejang-kejang gitu.” jawab Gevin sambil tergelak. Binar mata itu, binar kebohongan.
“Kenapa Gue jadi setakut ini?” gumam Letta ditengah getaran tubuhnya.
Tanpa bertanya, Gevin langsung memeluk erat Letta. Memberi kehangatan bagi gadis itu, kehangatan yang membuat gadis itu deja vu. Kehangatan yang pernah ia rasakan sebelumnya.
“Gue takut, Gee..” suara Letta, mengadu.
Gevin mempererat pelukannya. “Lo gak perlu takut, ada Gue!” seru lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Belonging Needs (COMPLETED)
Ficção AdolescenteMenceritakan tentang seorang gadis baja dengan hati sutra. Hidup ditengah keramaian, namun Ia sendiri. Membuatnya haus akan kasih, membuatnya berkeinginan untuk dimiliki. Lewat lembaga akademi dan tingkah sosial yang menjadi latar. Ditemani dengan k...