“Jiwa yang kuat itu, luluh bersama guyuran hujan. Hancur bersama sengatan mentari. Bersama kabar angin, ia pun menghilang... Menghilang untuk sesaat.”
***
Pukul 20.17, Letta kembali ke rumah dengan wajah seperti biasa, datar.
“Makan dulu Nona, Nyonya udah nunggu dari tadi.” ucap Bik Na ketika Letta melangkah masuk ke rumah. Tidak ada respon dari ajakan Bik Na.
“Tata.. kenapa pulangnya lama?” Mai Ramiro, menyambut Letta dengan hangat
“Ayo, kita makan! Kamu pasti belum makan” lanjut Mai
“Tata udah makan di rumah Nesha.”
“Kenapa makan di rumah orang? Kamu’kan punya rumah sendiri! Keluarga Ramiro tidak pernah meminta makan dari orang lain!”
“Tata gak minta. Mereka yang memberi. Awalnya Tata juga gak mau, tapi mereka kasih bonus untuk makan bersama. Makanya Tata mau. Alasannya, karna Tata bosan makan sendirian.” jelas Letta dengan mata yang sudah berkaca, kemudian berlalu meninggalkan ibunya yang hanya terdiam.
Letta masuk ke kamarnya. Menarik nafas panjang agar air mata yang membendung di kantong matanya tidak tumpah. Tapi, hatinya berkata “tumpahkan saja semuanya, aku sudah lelah!”
“Kenapa aku dilahirkan, kalau hanya untuk disiksa bathin seperti ini? Aku lelah, aku lelah berdiri sendiri! Dimana pendukungku? Dimana penopangku?” bathin Letta menjerit
“Dimana seorang ayah yang melindungiku saat aku merasa terancam? Dimana seorang ibu yang memelukku saat aku merasa lemah? Dimana sebuah keluarga yang membantuku bangkit saat aku terjatuh?”
Letta. Gadis itu berfikir keras, mencari jawaban yang dirasa bisa membuatnya tak bertanya lagi. Dimana segala hal yang harusnya ia miliki? Hal itu bersembunyi entah dimana. Membuat otaknya terus berputar, sehingga menimbulkan tekanan yang mengakibatkan nyeri di urat sarafnya.
***
P
agi itu, Letta berangkat ke sekolah tidak seperti biasa. Ia meminta untuk diantarkan saja dengan Pak Am, supir keluarga Ramiro. Nyeri tadi malam masih membekas di kepalanya. Sehingga Letta tidak bersemangat untuk mengendarai motornya.
“Kenapa tetap sekolah, Nona? Kalau gak enak badan’kan bisa izin.” ucap Pak Am saat mengendarai mobil
“Cuma sakit kepala biasa. Gak perlu dibesarkan.” jawab Letta dengan nada sok kuat.
“Walaupun cuma biasa, kalau dibiarkan nanti akan menjadi parah.” ucap Pak Am penuh perhatian
“Terimakasih atas perhatiannya, Pak Am.” respon Letta dengan senyuman tipis. Manis, jika gadis itu tersenyum lebih lebar akan tampaklah bahwa ia adalah pribadi yang lembut.
“Mom, Ded. Kapan?” bathin Letta
__“Semuanya udah berkumpul’kan? Sebentar lagi upacaranya akan dimulai. Jadi jangan kemana-mana!” ucap Kak Lim, pembina pramuka One HS
“Okee..Kak.” jawab seluruh anggota pramuka
“Taa? Lo sakit? Kalau sakit, kenapa tetap pergi?” tegur Nesha saat melihat temannya tampak pucat
“Gak. Gue cuma ngantuk.” jawab Letta sambil mengecek matanya.
“Serius?”
Letta hanya menatap Nesha sebagai jawaban dari pertanyaan yang diberikan temannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Belonging Needs (COMPLETED)
Teen FictionMenceritakan tentang seorang gadis baja dengan hati sutra. Hidup ditengah keramaian, namun Ia sendiri. Membuatnya haus akan kasih, membuatnya berkeinginan untuk dimiliki. Lewat lembaga akademi dan tingkah sosial yang menjadi latar. Ditemani dengan k...