─a,

1.3K 249 16
                                    

"Jimin?"


Mendengar namanya dipanggil, Jimin cepat-cepat merapikan alat tulisnya sebelum beranjak keluar. Di sana, ibunya tengah tersenyum sembari memegang segelas susu di tangannya. Tanpa bicara, Jimin balas tersenyum sebelum mengambil gelas di tangan ibunya. 


"Sayang,"

Setelah menghabiskan setengah gelas susunya, Jimin menoleh ke arah ibu. "Iya, bu?"

"Setelah ini langsung tidur, oke?"

Jimin mengangguk polos, kembali menegak susunya sampai habis.

"Sudah membersihkan meja belajarmu?"

"Sudah, bu. PRku juga sudah selesai."

"Pintar," ibu tersenyum, berlutut di depan Jimin, menyetarakan tinggi sebelum mengecup sayang kedua pipi anaknya. "Tidur yang nyenyak, sayang."

"Iya, bu." Jimin tersenyum lagi, lalu balas mengecup pipi sang ibu. "Jangan terlalu larut bekerja. Jimin menyayangi ibu."

Mendengar perkataan Jimin, ibu memang tersenyum. Tapi itu bukan senyuman ibu. Bukan senyuman yang seperti biasanya. Bukan pula senyuman yang ditampakkan beberapa menit lalu. 

Jimin menyadari hal itu. Tapi, ia memilih tak acuh. Dianggapnya senyuman tadi sama, meskipun ia tahu ada yang berbeda. Dan seperti malam-malam sebelumnya, Jimin kembali ke kamar. Mengunci pintunya, seperti yang dipesankan ibu setiap hari. Lalu terlelap di balik selimutnya.


.


Biasanya, Jimin akan terlelap sampai pagi tiba. Namun kali ini, mimpi buruk menyapanya. Jimin benci mimpi buruk. Tentang ayah, tentang pertengkaran mereka dua tahun yang lalu. Jimin ketakutan. Mimpinya memvisualisasikan sang ayah seperti sesosok monster, yang pada akhir cerita benar-benar menusuk matanya.

Jimin gemetar. Air matanya nyaris menetes, tapi ditahannya. Ia menarik selimut, berjingkit-jingkit menuju kamar ibu. Ia berharap ibu sudah pulang kerja, sehingga ia bisa meminta pelukan. Setidaknya, harapannya begitu. 

Rupanya, dugaan Jimin salah. Ibu tidak bekerja di luar. Ibu tidak pernah keluar saat malam hari. Ibu selalu di rumah setiap malam, tidak pernah meninggalkannya seperti yang dibayangkannya selama ini. Ibu tidak pergi. Ibu di sini, dan ibu bekerja.

"L-Lagi─hh, tolong. ah!"

Kening Jimin mengerut samar. Jemari kecilnya mendorong pintu kamar sang ibu, berusaha memuaskan rasa penasaran yang menyelimutinya saat ini. Dan seketika, matanya membelalak. Jelas terkejut. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Jimin merasa hatinya sakit─padahal ia tidak mengerti apa yang dilakukan ibu.

"ngahh─ssh, d-di sana. nhh!"

"siapa yang menyuruhku untuk tidak berisik lagi, jalang?"

"akh─lagi.. Lagidi sana, ngahh!"

"kau luar biasa, rghh─!"

Jimin semakin gemetar. Percakapan ibu dengan sosok pria yang berada di atasnya membuat Jimin kian ketakutan. Demi Tuhan, Jimin tidak mengerti. Tapi lututnya lemas, ia hampir jatuh saat kakinya melangkah kembali ke kamar.


.


Mengurungkan niat untuk mendapat pelukan, kini Jimin kembali bergelung di kamarnya. Tubuhnya masih gemetar. Kiasan adegan yang dilihatnya tadi masih terputar-putar di otaknya. Dan Jimin tak mengerti, kenapa hal itu membuat tangisnya pecah.

Padahal, Jimin tidak ingin menangis. Tangisnya pecah begitu saja, tak diperkirakan, pun tak bisa dihentikan. Tanpa isakan, memang. Tapi air matanya membasahi bantal, bahkan selimut yang dijadikannya media usap-mengusap.

Dan tangisnya semakin pecah kala suara ibu terdengar sampai di sini. Jimin menutup kedua telinganya, menahan getar tubuh yang semakin lama kian menjadi. Ia ketakutan. Benar-benar ketakutan. 

Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dilakukan ibu? Kenapa hatinya terasa sakit? Kenapa ia menangis?


Dan, kenapa ia merasa dunianya kembali hancur?


to be continued.

❛anxiety❜ ─ pjm.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang