Taehyung mendesis halus. Kepalanya terasa pusing saat mengingat percakapan terakhirnya dengan Jimin tiga hari lalu. Jemari kecilnya mengepal, lalu ia mendesis lagi saat sesuatu dalam dirinya berbisik, 'maafkan lah'. Tapi Taehyung masih bergeming.
Ia hanya terlalu emosi. Ia merasa dikhianati, pun sebenarnya ini bukan suatu yang patut di permasalahkan. Meskipun baru berumur empat belas, Jimin bukan anak yang mudah mengungkapkan perasaan—apalagi rahasianya secara gamblang seperti kebanyakan anak pada umumnya.
Hingga detik ini, Taehyung masih bergeming. Melamun di tepi kasurnya, entah sedih karena kehilangan atau muak dengan si teman karib yang mulai dibencinya itu. Jimin.
Jimin, ya?
Taehyung ingin membuangnya. Boleh, kan?
Taehyung ingin mengerti Jimin, tapi entah mengapa kali ini ia merasa kesal sekali. Rasanya, ia ingin menjauhi Jimin selamanya. Ingin tidak mengenal Jimin lagi, tidak sama sekali. Padahal dulu ia berjanji, pada Jimin, pada ayahnya, pada dirinya sendiri—bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan Jimin.
Tapi, janji dibuat untuk diingkari, bukan?
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
❛anxiety❜ ─ pjm.
Fiksi PenggemarSometimes─many times, it kills you. it kills me. [Bahasa] ; Mature for language, violence, etc. ─2018, Bwikuk.