─a,

1.3K 249 13
                                    

Hari ini, Jimin kembali menjajakkan kakinya di sekolah. Senyum di bibir kecilnya mengembang, seperti biasa. Semua orang terkelabui, tertipu dengan senyum bak malaikatnya. Hari ini, Jimin bersyukur tidak ada yang bertanya mengapa ia mengenakan jaket. Ia sedang tidak ingin berbohong.

Tapi sebenarnya, tidak semua orang dapat dikelabuinya. Ada satu, dua orang yang tidak pernah berhasil ia kelabui. Dan salah satunya tengah memandangnya dari dalam kelas sekarang. Seketika, tangannya gemetar. Ia ketakutan, selalu seperti ini. Tanpa sebab, tanpa alasan yang masuk akal. 

"Jimin-a."

"J-Jangan─"

Jimin datang terlalu pagi, dan kawan-kawan di kelasnya terlalu malas untuk berangkat sepagi ini kecuali satu anak laki-laki yang tengah meremat halus bahunya. Mereka hanya berdua, itu membuatnya sedikit tenang.

"Ini aku. Ini aku, Kim Taehyung." ucap temannya, berusaha menenangkan.

Tapi tubuh Jimin tak berhenti gemetar. Ketakutannya semakin menjadi kala tangan temannya tergerak untuk menyibak lengan jaketnya. Ia nyaris berteriak─namun berhasil mengontrolnya saat ini. Kepalanya menggeleng kuat, melindungi tangannya dari jangkauan sang teman. Tangisnya nyaris pecah, tapi ia tidak menangis semudah itu. 

"Jimin-a, ayah menitipkan obat untukmu. Kita oleskan, oke? Tidak akan sakit.."

Jimin tidak menggubris. Ia jatuh, terduduk di lantai kelas. Dan gemetar di tubuhnya semakin menjadi. Pertama kali melihat Jimin seperti ini, Taehyung panik, ia ingin meminta pertolongan. Takut terjadi apa-apa dengan teman baiknya ini. Namun, saat melihat Jimin meletakkan telunjuknya di depan bibir dengan susah payah, Taehyung berusaha tenang. Dan hingga saat ini, Taehyung sudah mulai terbiasa melihat temannya seperti ini. Terbiasa, ya, tapi hatinya masih berderit ngilu saat melihatnya.

Lima menit berlalu, Jimin akhirnya sedikit lebih tenang. Nafasnya yang tersendat-sendat perlahan mulai kembali teratur. Gemetar di tubuhnya sudah reda. Taehyung membantunya berdiri, lalu membantunya duduk di kursi. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, Jimin cepat-cepat menarik lengan jaketnya ke atas. Tak peduli jika tarikannya akan membuat lengannya berdarah lagi.

Di hadapannya, Taehyung berusaha menahan kengeriannya. Meskipun sudah lebih satu tahun mengetahui kebiasaan Jimin, Taehyung masih tak mampu terbiasa melihat semua goresan, sayatan yang Jimin sebut mahakarya. Lukanya terlalu parah, terlalu mengerikan untuk dilihat anak seumurnya. Tapi ini Park Jimin, ini temannya─maksudnya, Jimin yang membuat luka seperti ini. Dan Taehyung tidak bisa membiarkannya begitu saja.

"Kau lupa membersihkannya lagi, ya..?" Cicit Taehyung sembari mengamati lelehan lilin yang mengering di sekitar luka-lukanya.

"Membersihkan?"

Taehyung mengangguk. "Aku kan sudah bilang, bersihkan lukamu." 

Jimin tersenyum tipis─tipis sekali. Nyaris tak terlihat seperti senyuman. "Maaf,"

"Berhenti meminta maaf." jawab Taehyung. Ia berbalik sejenak, mengambil tissue dari tasnya lalu perlahan-lahan membersihkan luka di lengan Jimin. "Sakit?"

"Tidak."

Taehyung menghela. Ia paham betul, Jimin sedang benar-benar terpukul sekarang. Pasalnya hari ini ulang tahunnya, dan Taehyung yakin ibunya tidak mengingat hal itu lagi. Jika ingat, untuk apa Jimin meneteskan lelehan lilin ke lengannya?

Setelah selesai membersihkan luka, sekaligus mengoleskan obat luka yang dititipkan ayahnya untuk Jimin, Taehyung kembali bersuara, "Jimin-a."

"Hn?"

"Selamat ulang tahun."

Jimin terpaku. Tanpa sadar, matanya berbinar melihat sekotak hadiah yang dibungkus rapi dengan kertas berwarna biru muda. Cantik sekali. Baru kali ini Jimin mendapatkan kado seindah itu.

"Jangan norak begitu, heh. Isinya cuma syal, dari ibu."

Jimin tersenyum kecil, lalu ia mengangguk, menggumamkan 'terima kasih' dan meletakkan kadonya di atas meja. "Darimu mana, Taehyung-a?"

"Mau pelukan?" tawar Taehyung sambil tersenyum jahil.

"Tidaaakk," Jimin tertawa geli. Lalu ia melanjutkan, "Tidak akan menolak, maksudku."

Dan Taehyung tidak perlu membiarkan Jimin menunggu lama untuk sebuah pelukan. Satu pelukan yang dapat membuat tawa Jimin lepas begitu saja. Tawa yang sebenarnya, bukan yang kerap disuarakannya untuk menutupi kepedihan. 



Dalam hati, Taehyung bersyukur masih dapat mendengar tawa Jimin yang seperti itu. 






Ia benar-benar bersyukur.


to be continued.

❛anxiety❜ ─ pjm.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang