Selesai mendengar ceramah dari seorang pria tua yang menjabat sebagai 'guru konseling' di sekolahnya, Taehyung berjalan keluar dari ruangan pengap itu. Dilihatnya Jimin sedang duduk, entah memang hanya duduk atau menunggu kedatangannya dari ruang yang disebut-sebut sebagai 'neraka' (mengingat ruangan itu hanya dimasuki oleh anak-anak bermasalah).
"Jimin?"
Lama menunduk, akhirnya Jimin mendongak. Memperhatikan Taehyung yang berjalan ke arahnya lalu menghempaskan badan di sebelahnya.
"Sedang apa?"
"Khawatir." Jawabnya, singkat.
Ini tidak terdengar seperti Jimin, karena biasanya ia suka berbicara panjang lebar dengan Taehyung. Tapi Taehyung tau ini tetap Jimin. Jimin tetap sama, sama perhatiannya.
"Seharusnya kau tidak memukulnya," kali ini Jimin melirih, melanjutkan perkataan sebelumnya. "Nanti dok─ayah marah."
Taehyung terkekeh kecil. "Kau perhatian sekali ya, chim."
Jimin mendengus singkat; tanda bahwa ia tidak terlalu suka dengan panggilan yang Taehyung berikan. "Tidak juga, taetae."
"Ah, apa ini waktu 'mari mengingat masa kecil' kita?"
"Tidak, ya Tuhan." Jimin mendengus lagi. "Ayah pasti marah padaku karena kau dipanggil ke ruangan ini gara-gara aku."
"Tidak, ya Tuhan." Taehyung meniru gaya bicara Jimin, lalu tertawa singkat saat melihat raut sebal di wajah kawannya. "Ayah tidak akan marah karena aku membelamu."
"Membelaku?"
Taehyung mengangguk. Tapi Ia tahu kalimat Jimin belum selesai, dan sepertinya ia tahu kalimat selanjutnya.
"Tidak ada yang perlu dibela.. Yang dikatakannya separuh benar, Taehyung. Seharusnya aku mati, tapi ibu tidak usah ikut."
Tepat dengan dugaannya.
"Kau berhak hidup, Jim. Sudah, ayo makan siang."
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
❛anxiety❜ ─ pjm.
FanficSometimes─many times, it kills you. it kills me. [Bahasa] ; Mature for language, violence, etc. ─2018, Bwikuk.