ten.

596 136 31
                                    


benar, aku memang pengecut.


.


Sudah satu tahun. Satu tahun semenjak Jimin tinggal di sini, di kamar yang letaknya tepat di sebelah kamar sahabatnya sendiri. Satu tahun setelah ibu membuangnya ke sini. Dan juga, satu tahun sejak kondisinya kian memburuk. 

Taehyung memang selalu menemaninya, kapanpun, di mana pun. Bahkan ia tidak peduli jika Jimin melarangnya. Ia juga tidak peduli jika Jimin memandangnya sebelah mata. Taehyung mengerti, Jimin bukan lagi anak sekolah menengah pertama yang menangis saat kepalanya terasa pening bukan main. Bukan lagi anak kecil yang bersembunyi di ujung ruangan karena orang mencacinya. 

Park Jimin dan dirinya sudah berumur tujuh belas, keduanya sudah remaja, dan sudah terlalu tabu bagi Jimin untuk ditemani Taehyung kemana-mana. Tapi, Taehyung tetaplah Taehyung. Ia sebenarnya tidak ingin mengikuti─atau sebut saja menguntit Jimin. Ia hanya tak bisa berhenti khawatir, terlebih beberapa bulan lalu Jimin ingin mencoba mengakhiri hidupnya lagi. Jika saja Taehyung tidak mengikutinya ke atas gedung sekolah, mungkin Jimin sudah mendarat di atas tanah dengan keadaan mengenaskan.


"Hari ini ulang tahunmu, kan?"

"Apa?"

"Ulang tahun,"

"Apa itu?"

"Jimin─"

"Apa? Kau mau membuangku juga seperti yang dilakukan ibuku saat─bangsat, Taehyung, obatku." 

Dengan sigap, Taehyung memberikan antidepresan─fluoxetine yang baru beberapa bulan ini dikonsumsinya. Ia hanya memperhatikan saat Jimin meminum obatnya, menunggu obatnya bekerja─menenangkannya. Lalu diam-diam Taehyung mendesah lega saat Jimin terlihat lebih baik. "Maaf, aku tidak akan mengungkitnya lagi."

"Bagus. Memang itu yang ku inginkan." Ucapnya dingin, lalu berjalan begitu saja melewati Taehyung.



Jimin memang seperti itu. Saat ini benar-benar tidak ada lagi Jimin yang ceria. Tidak ada lagi Jimin yang hidup untuk siapapun. Ia hanya hidup untuk menyiksa dirinya sendiri, Ia hidup untuk menjalani sisa-sisa napasnya di neraka buatan yang diciptakan khusus untuknya, Ia hidup untuk tertawa atas penderitaannya sendiri. Tidak ada lagi, Tidak ada lagi Jimin yang tertawa saat Taehyung melontarkan lelucon. Tidak ada lagi Jimin yang bersyukur karena Taehyung menemaninya. Mungkin otaknya sudah bergeser, tapi sekarang ia menganggap Taehyung pengganggu. Ia menganggap Taehyung terlalu berlebihan dalam menyikapinya.

Toh, ia tidak apa. Ia tidak perlu diawasi setiap detik. Atau bahkan, ia tidak membutuhkan Taehyung lagi.
























Tapi sebenarnya, di lubuk hatinya yang paling dalam, Ia hanya takut kehilangan Taehyung. Ia hanya takut Taehyung meninggalkannya karena ia terlalu mencintainya seperti yang dilakukan sang Ibu kepadanya.


to be continued.

❛anxiety❜ ─ pjm.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang