─e,

927 188 10
                                    


Jimin di sana.


Terbaring, tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Bau obat menyeruak, warna putih di mana-mana. Jika sudah sadar, sudah jelas Jimin meraung tak terima berada di ruangan ini. Ia tidak pernah menyukai ruang kesehatan sekolah, apalagi rumah sakit. Tapi sayangnya, ia tak sadarkan diri hingga detik ini.

Berbagai selang dan kabel-kabel aneh menjuntai dari tubuhnya, dari balik bajunya. Tidak ada suara lain selain bunyi monoton dari elektrokardiogram di samping ranjang. Itu seolah menjadi musik pengisi keheningan di ruangan.


Jimin tidak sendiri. Sesosok anak seumurnya tengah meringkuk tak nyaman di sofa. Erangan kecil lolos dari bibirnya saat mimpi buruk menyapa tidurnya. Kelelahan, terlalu banyak menangis sampai terlelap. Di pipinya nampak dengan jelas air mata yang mengering.

Sebelum terlelap, ia meraung nyaris hilang akal. Jika sang ibu tak menahannya, seisi ruangan sudah berhambur kali ini. Penyesalan bocah empat belas tahun ini bukan main adanya. Berbagai 'jika saja aku tidak...' memenuhi kepalanya sejak hari di mana sang ibu memberinya kabar itu. 


Jika saja aku tidak membanting pintu waktu itu.


Jika saja aku tidak emosi.


Jika saja aku tidak meninggalkan Jimin sendirian.




Sebenarnya ia pun sadar, memikirkan semua itu tak ada gunanya. Menyesalinya juga tidak ada gunanya─semuanya sudah terjadi. Yang bisa dilakukannya kali ini hanya menunggu, lalu diam-diam membisikkan doa agar Jimin cepat terbangun dari tidur lelapnya.









Semoga saja.





Tapi, apa Tuhan masih sudi mendengarkan doanya?



to be continued.


aku kembali!

❛anxiety❜ ─ pjm.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang