─c.

731 163 19
                                    


Saat ini, Jimin berada di pelukan ibunya. Tak apa, katakan saja ia anak manja. Teriaki saja 'kau lemah sekali sebagai laki-laki' di depan wajahnya. Tapi aku tidak berjanji kalau jotosan Taehyung tidak mendarat di wajahmu. 


Seusai mengamankan rumahnya dari resiko kebakaran (maksudnya, mematikan kompor), ibu membawa Jimin menuju kamar. Dipeluknya sang jagoan, diusap surainya dengan penuh kasih─berusaha menenangkannya tanpa obat penenang yang diberikan ayah Taehyung untuk Jimin. Katanya, itu pilihan terakhir. Jadi ia tidak bisa langsung membuat anaknya menegak obat berdosis tinggi itu.



"Hei, Jiminie?"

Jimin bergumam sebagai jawaban. Sedu-sedannya masih terdengar lirih, dan itu sukses membuat hati sang ibu tersayat.

"Ada apa, sayang?"

"Mimpi buruk, bu. Buruk sekali."

"Mau menceritakannya pada ibu, sayang?"

"Ibu bekerja.. Aku lihat ibu bekerja, dalam mimpiku." 


Jimin berbisik, tapi Ibu dapat mendengarnya dengan jelas. Dan hal itu sukses membuat setetes air ikut membasahi pipinya. Ia mengeratkan pelukan pada sang anak, mengusap surainya lalu mencium keningnya dengan lembut.


"Maafkan ibu, Jiminie.. Maafkan ibu.. Kau pasti menopang beban yang berat sekali karena ibu begitu.. Maafkan ibu.."

Jimin menggeleng lemah. Ia membalas pelukan sang ibu, mengusap punggungnya sambil melirih, "Maafkan Jimin, bu.."

Sang Ibu terdiam. Rasanya ia ingin menumpahkan tangisnya, tapi tidak mungkin ia menangis di depan anaknya yang sedang berada dalam saat-saat tersulit. Sekuat tenaga, ia menahannya.

"Maaf karena aku tidak menjadi laki-laki yang kuat.. Aku merepotkan ibu. Aku membuat ibu tersiksa.."

Mendengar tuturan sang anak, Ibu kembali mengeratkan pelukan. Ia menggeleng cepat, menyalahkan pernyataan sang anak yang begitu menyayat hati. Dipikirnya, Jimin sudah membencinya. Dipikirnya, Jimin sangat kecewa mengingat ekspresinya saat ia pertama kali meminta maaf. Tapi rupanya, anaknya sudah tumbuh dewasa. Anaknya mampu memikirkan hal yang luput dari perkiraannya. 


"Jiminie, dengarkan ibu.. Kau itu anak ibu, yang paling kuat. Yang paling ibu sayangi. Maaf ibu sudah menyakitimu, maaf ibu tidak mengerti perasaanmu. Maaf, ibu bahkan tidak pernah mengucapkan 'selamat ulang tahun' untuk jagoan ibu. Maaf ibu gagal melindungi karunia yang Tuhan berikan pada ibu─kau, Jiminie. Ibu gagal melindungimu. Maafkan ibu, tolong jangan tinggalkan ibu ya, sayang? Tolong, jangan sembunyikan apapun dari ibu.." Sebelum melanjutkan, wanita itu menarik napasnya.

"Jangan sembunyikan apapun.. Entah itu luka Jiminie, kekhawatiran, atau kesedihanmu.. Ibu mohon ya, nak? Ayo rayakan ulang tahunmu bersama. Kita beli kue, ibu akan belikan kado yang keren untukmu. Ibu mencintaimu, Jiminie. Sangat, sangat mencintaimu."


"Ibu.." Jimin mengeratkan pelukan. "Aku juga sangat sangat sangat mencintai ibu.."


Jimin masih mencintainya, dan itu lebih dari cukup untuknya.


to be continued.


Kalau ada yang ngerasa Jimin lemah sekali di part ini─iya, aku emang bikin imagenya di sini lemah. Logikanya dia masih empat belas tahun, baru pulih, masih tertekan, jadi untuk sekarang ku perlihatkan sisi lemahnya dulu.  Gatau nanti, hehe.



Anyway, maafkan kemageranku untuk menjabarkan detail-detail kejadiannya. Keliatan ngebut banget ya. Aku ga nyangka juga kemageranku berpengaruh pada semua hal termasuk nulis ini─hiks. 


Double up nih, yang bahagia tolong jangan senyum manis-manis, nanti aku diabetes.

❛anxiety❜ ─ pjm.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang