─b.

840 172 11
                                    

Sudah nyaris tepat empat puluh delapan jam, dan Jimin belum memakan makanannya sama sekali. Ia tetap meminum air putih yang disediakan, tapi tidak dengan nasi beserta lauk pauk yang ada di sebelahnya. Ia hanya membiarkannya di atas nakas sampai perawat membawa makanannya keluar lalu menggantinya dengan yang baru. 

Tentu, para perawat itu menyuruh Jimin untuk makan. Tapi dia diam saja, atau barang kali menggeleng untuk menolak perintahnya. Ayah Taehyung─dokternya, sampai datang ke ruangan hari ini untuk menyuruh Jimin makan. Tapi tetap saja, ia enggan memakannya barang sesuap. 

"Jimin, makanlah.. Ibumu akan sedih jika dia tahu kau belum makan," bujuk Ayah Taehyung sekali lagi.

Jimin diam. Ia memandang sang dokter─kosong, tatapannya masih sama kosongnya sejak beberapa hari yang lalu. 

"Jimin.."

"Nanti saja, dokter.."

"Tapi kau belum makan sejak kemarin, nak.."

Jimin menggeleng pelan. "Tidak lapar, dok. Anda tenang saja, saya tidak apa-apa.. Mungkin pasien-pasien anda sedang menungggu di luar."

Akhirnya, pria paruh baya yang menyayangi Jimin seperti anaknya sendiri ini menyerah juga. Ia menghela, menyetujui pernyataan Jimin perihal pasiennya dan pamit keluar. Setelah itu, Jimin sendiri lagi di ruangannya.

Taehyung sedang sekolah, dan ibunya entah kemana.

Jimin penasaran, apa ibunya benar-benar meminta maaf saat itu? Apa permintaan maaf itu hanya terjadi saat itu saja, lalu ia kembali melakukan pekerjaan kotor itu demi menebus uang perawatannya?

Memikirkannya membuat Jimin sesak. Ia menenggelamkan kepala di bantal, menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Setelah sekian lama menahan beban di dadanya, akhirnya air mata yang selama ini ditahannya menetes juga. Tanpa isakan, tanpa suara, namun dadanya terasa sesak sekali.

Mengingat sang Ibu, entah ia harus marah, kecewa, atau bersedih karena ia selalu merepotkan beliau. Selalu membebani beliau. Jimin mulai mengutuk dirinya sendiri. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Menyerapahi, menyumpahi dirinya sendiri di dalam hati.





Jika saja aku mati saat itu, mungkin ibu tidak perlu bekerja lagi.

Jika saja aku mati saat itu, mungkin ibu tidak terbebani lagi.





Jika saja aku mati saat itu, mungkin tidak akan ada yang mengatai ibu pelacur lagi.





Jika saja aku mati...















Dan kenapa aku masih hidup?

to be continued.

❛anxiety❜ ─ pjm.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang