─b,

585 141 11
                                    


Oktober, tanggal dua belas.


Saat itu ia masih tiga belas─ulang tahunnya masih dua bulan lagi. Tapi, Taehyung ingat betul. Esok hari adalah hari lahir sahabatnya, Park Jimin. Taehyung mengingatkan sang Ibu, lalu dengan senyuman manis sang Ibu memberikan kotak dengan kertas biru muda yang membungkusnya dengan rapi. Melihatnya, Taehyung berbinar.


"Untuk Jimin, bu?"

Ibunya mengangguk. Tersenyum tulus sembari mengusap rambut anaknya. "Untuk Jimin. Dan ini," lagi, ibunya kembali memberikan sesuatu. Dua lembar uang kertas. "Belikan kue ulang tahun untuk Jimin, lalu kalian makan bersama, oke?"

Taehyung mengangguk semangat. Ia mencium pipi sang Ibu, berseru 'terima kasih!' sebelum berlari kecil ke kamarnya dengan hadiah yang diberikan Ibu. 




Namun belum lima menit ia berada di kamar, tiba-tiba kakinya kembali membawanya keluar. Tidak ada senyuman di bibirnya, kali ini ia terlihat murung. 




"Ada apa, Taehyung?"

"Obat.." Cicit Taehyung. Ia menunduk, tangannya mengepal di sebelah pahanya.

"Apa, sayang?" Rupanya sang Ibu tidak mendengar cicitannya.

"Obat, bu.." Taehyung menarik napas. "Besok ulang tahunnya, aku perlu obat.. Untuk─tangan.."

Begitu mendengar penjelasan anaknya, sang Ibu terdiam sejenak. Ia menatap sosok Taehyung, anak yang dibesarkannya dengan sepenuh hati, terlihat begitu rapuh saat membicarakan hal ini. Taehyung selalu begini, nyaris selalu begini jika ia mengingat setumpuk luka di lengan Park Jimin.

"Ibu.. Bagaimana.." Taehyung mencicit lagi. "Bagaimana caranya membuat Jimin berhenti, Bu..?" 

Sungguh, demi apapun, ia tak tahu harus mengatakan apa. Sama halnya dengan Taehyung, melihat anak ceria yang selalu bersama Taehyung sejak taman kanak-kanak itu hancur seperti sekarang, Ia benar-benar merasa tak sanggup.

"Tengah malam nanti, Jimin pasti berdoa lagi, bu.. Jimin pasti berdoa agar Tuhan mengambil nyawanya.. Bagaimana ini, bagaimana─" Taehyung mendesah frustasi. Ia ingin menangis, tapi ia tidak ingin terlihat lemah di depan ibunya, di depan siapapun. "Bagaimana jika Tuhan mengabulkannya.. Aku, aku tidak mau kehilangan temanku..."

Entah karena apa, sang ibu tiba-tiba menangis. Ia menarik Taehyung ke pelukannya, mengusap surai hingga punggungnya sembari berbisik 'semua akan baik-baik saja', 'Jimin tidak akan kemana-mana'. Setelahnya, ia mengatakan pada Taehyung jika ia akan memberitahu sang Ayah untuk membawakan obat. Lalu diantarnya Taehyung ke kamar, dikecupnya kening sang putra sebelum mengucap 'selamat tidur'.









Dan satu jam sebelum hari berganti, Taehyung menangis di atas bantalnya. Di tempat yang paling rahasia, di malam yang paling memedihkan daripada malam-malam yang lain.


Malam ulang tahun Park Jimin, malam di mana Taehyung membayangkan bagaimana Jimin melukai tangannya lagi. Malam di mana Taehyung membayangkan Jimin meniup lilin sendirian di kamarnya, lalu membiarkan lelehannya membakar sayatan menganga di lengannya. Malam di mana Taehyung merasa menjadi sosok yang paling tak berguna, yang tak mampu melakukan apapun selain menangis dan berdoa.




Taehyung─ia merasa setakberguna itu. 


to be continued.

❛anxiety❜ ─ pjm.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang