Sejak mengetahui apa yang dilakukan ibunya tiap ia terlelap, Jimin menjadi sosok yang lebih pendiam. Ia hanya akan tersenyum saat sang ibu mengucapkan kalimat sayang padanya. Ia hanya akan menggeleng saat kawan-kawannya mengajaknya bermain. Ia hanya menggumam saat seseorang bertanya tentang keadaannya.
Tidak ada lagi Park Jimin yang ceria.
Walaupun ada, kepalsuan dari keceriaan itu nyaris seratus persen terlihat. Jimin tidak pandai menyembunyikannya. Tapi mungkin, keceriaan palsunya berhasil mengelabui sang ibu. Sebab ibunya tak pernah menyadari ada yang berbeda dari dirinya. Sebab ibunya selalu menganggap bahwa ia baik-baik saja selama kebutuhannya tetap terpenuhi.
Selebihnya, semua berjalan seperti biasa. Jimin tetap sekolah, tidur di kamarnya setelah mengerjakan tugas, menonton televisi saat hari libur, dan ibu tetap menyayanginya. Tapi, apa gunanya kasih sayang jika ibu menyembunyikan sesuatu darinya?
"Jimin, ibu akan─"
"Ya, bu. Jangan terlalu larut."
Ini pertama kalinya Jimin berani memotong pembicaraan sang ibu. Tapi, ibu tak terlihat terkejut sama sekali. Bahkan, sampai Jimin kembali ke kamarnya, ibu terlihat tidak curiga.
Padahal jelas-jelas Jimin gagal menyembunyikan pisau lipat milik ayahnya di balik baju.
.
"a-arg─"
Bukan. Itu jelas bukan suara erangan yang kerap kali didengarnya dari kamar sang ibu. Itu erangannya sendiri. Suatu bentuk pelampiasan atas rasa sakit yang dituju pada lengan polosnya. Atau lebih tepatnya─suatu pengalihan, pengalih perhatian agar telinganya tuli sejenak, tak mendengar teriakan atau suara aneh lain dari kamar ibunya.
Awalnya hanya satu, namun sekarang telah terkumpul menjadi deretan garis merah yang memenuhi lengannya. Lalu, tetes demi tetes, yang sebentar lagi mungkin akan menjadi genangan di lantai kamarnya. Ia tidak menangis. Bukan air mata yang menetes. Bukan air mata yang akan menjadi genangan. Karena semua orang tahu, air mata tak memiliki warna semerah ini. Air mata tidak memiliki aroma seanyir ini.
Sesuatu dari dalam diriinya memekik, terperanjat ngeri melihat ketidaksengajaannya ini. Tapi otaknya terus memerintahkan jemari kecilnya untuk tetap menggenggam satu-satunya benda milik ayah yang tertinggal di rumah. Untuk tetap melukiskan mahakarya memilukan di atas kanvas polosnya.
Kala telinganya mendengar teriakan dari luar, ia ikut berteriak. Lebih nyaring, lebih keras hingga menyatu dengan suara di luar sana. Dan tanpa sadar, bersamaan dengan teriakannya tadi; ia terlalu dalam menekan kuasnya.
Darahnya tercecer ke mana-mana. Dan Jimin baru menyadarinya setelah teriakannya usai. Tangannya gemetar, menjatuhkan benda mengkilap itu dari genggaman. Nafasnya terengah-engah, matanya melebar, menatap ngeri lengan yang penuh dengan goresan penuh darah. Ia panik. Luar biasa panik.
Kotak tissue di nakas diambilnya dengan tangan yang semakin gemetar. Ia menarik-narik isinya, mengeluarkan semuanya sambil berusaha membersihkan cairan pekat yang memenuhi lengannya, memenuhi lantai kamarnya, bahkan menodai bajunya.
Tangisnya pecah.
Ia tidak tau, jika ketidaksengajaannya akan menjadi seperti ini. Ia tidak mengerti, kenapa ia tidak berhenti saat selesai membuat satu goresan saja. Ia hanya berniat membuat satu. Tapi kini lengannya penuh─Jimin sama sekali tidak mengerti.
Tissue di dalam kotak sudah ditariknya hingga kotaknya melompong. Lembaran tipis yang tadinya masih berwarna putih polos, kini sudah dinodai oleh noda merah pekat hampir di seluruh sisinya. Berhamburan di mana-mana, nyaris memenuhi kamar Park Jimin. Dan di sana, si pemilik kamar tengah meringkuk ketakutan. Kedua tangannya menutupi telinga, menghalangi suara-suara menjijikkan itu masuk ke dalam pendengarannya.
Ia ingin melanjutkan pengalih perhatiannya, tapi ia terlalu takut. Luka di lengannya sudah terlalu banyak. Dan ia takut orang lain akan melihatnya. Jadi, yang bisa dilakukannya hingga pagi menjelang adalah meringkuk di sudut ruangan, menangis tanpa suara, dan mengabaikan goresan─bahkan sayatan di lengannya.
Setidaknya sebelum terlelap ia sudah berharap, semoga luka-lukanya akan membaik di keesokan hari.
Jadi ia bisa membuat lebih banyak lagi lain kali.
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
❛anxiety❜ ─ pjm.
FanfictionSometimes─many times, it kills you. it kills me. [Bahasa] ; Mature for language, violence, etc. ─2018, Bwikuk.