...mati, ya?
.
Hari ini, umurnya empat belas.
Ulang tahun ke sekian yang dirayakannya seorang diri. Tidak ada kue. Hanya lilin yang menyala, dengan kedua tangan yang ditangkupkan di depan dada. Bibirnya bergerak, berbisik lirih sekali─berharap Tuhan akan mendengar permohonannya. Permohonan yang sama sejak tiga tahun lalu.
"Tuhan, tolong ambil nyawaku."
Setelah mengucap amin, Jimin meniup lilin. Lalu sebelum lelehannya mendingin, ia meneteskannya pada sayatan yang menganga. Ia tidak meringis, ini tidak sakit. Bahkan sekarang senyumnya mengembang. Sempurna. Ini sempurna sekali, seperti biasanya.
Baru saja ingin beranjak dari tempatnya, kakinya kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhnya. Ia tumbang begitu saja tanpa pertahanan. Jatuh, kembali terduduk di tempatnya dengan setetes buliran yang mengalir lambat di pipi.
Jimin benci menangis.
Jadi, dengan tangan gemetar, ia mengambil pisaunya;miliknya, bukan ayahnya─itu hadiah ulang tahun yang dibelinya sendiri dua tahun lalu. Dan ia kembali membuat mahakarya lain di ruang yang belum terisi. Tapi terkadang ia menumpuk mahakaryanya, rasanya sempurna.
Tawanya terdengar, lirih. Namun tubuhnya masih gemetar, ketakutan, panik, khawatir. Cairan anyir yang menetes memang menggantikan bulir beningnya, tapi ia tetap gemetar. Jadi ia menyayat lebih dalam lagi.
Tiba-tiba, Jimin mengerang. Telapaknya meremas daun telinga, kadang ia pukulkan di sana. Lalu ia mengepalkan tangan, kembali memukul kepalanya sampai peningnya hilang. Selama ini, Jimin sudah melatih dirinya sendiri. Ia tau kapan harus menjadi tuli, kapan harus membuat pengalihan jika suara-suara itu kembali mengganggunya, atau kapan harus menghantamkan kepalanya ke dinding kala sakitnya tak tertahankan lagi.
Selama bertahun-tahun pula, ibu tidak menyadari apa yang sudah dilakukannya. Jimin menyimpan semuanya dengan rapi, benar-benar rapi. Tidak ada lagi bocah lugu yang gagal menyembunyikan sebilah pisau di balik bajunya. Tidak ada lagi bocah polos yang ketakutan melihat darah. Lagipula, untuk apa ia takut sedangkan cairan itu sudah menjadi teman bermainnya?
Sejak ia mengetahui pekerjaan ibunya selama ini, Jimin merasa kehilangan. Ia merasa hampa. Dunianya kosong. Ibu masih menyayanginya, tapi Jimin ketakutan. Jimin ketakutan karena ia tau, ibu bekerja seperti itu karena ibu menyayanginya. Ibu seperti ini karena ingin melihatnya, melihat mereka hidup berkecukupan.
Satu tahun lalu, di hari ulang tahunnya, Jimin menambahkan satu harapan yang meluncur begitu saja dari bibirnya─"aku harap ibu tidak menyayangiku lagi". Tapi seperti biasa, Tuhan tidak mengabulkannya. Sama halnya dengan satu harapan wajibnya setiap tahun.
Jadi tolong, tolong yakinkan Jimin sekali saja. Katakan padanya jika Tuhan itu ada. Buat dia percaya, jika Tuhan terlampau mencintainya hingga enggan mengambil nyawanya. Katakan, sebelum hatinya tergerak untuk menyayat nadinya dalam-dalam.
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
❛anxiety❜ ─ pjm.
FanfictionSometimes─many times, it kills you. it kills me. [Bahasa] ; Mature for language, violence, etc. ─2018, Bwikuk.