16. Sebagai Ayah

4.5K 201 1
                                    


"Terimakasih saya kira rapat hari ini cukup sampai disini. Semoga hari kalian menyenangkan."

Pria berumur yang masih tampan dan dengan penampilan seperti artis hollywood itu berjalan keluar dari sebuah ruangan diikuti seluruh bawahannya yang terlibat rapat.

Beberapa tahun telah dia jalani dengan berjauhan dari kedua anaknya. Dia hanya ingin anaknya menjadi dewasa dan mengakhiri konflik yang terjadi di antara mereka.

"Apakah semua ini akan baik-baik saja?" mereka telah duduk berhadapan ketika Kevin bersuara.

"Entahlah, hanya cara ini yang telintas di kepalaku."

"Bagaimana bila justru akan menghancurkan mereka berdua." suara berat Kevin mengambil alih seluruh perhatian Bryan.

"Aku ingin Ando mengerti sendiri bahwa apa yang dia lakukan tidak benar." tegasnya.

"Dengan mengorbankan Aleeyah?" sambun Kevin cepat.

"....."

"Kita sama-sama tau apa yang terjadi pada gadis itu selama dua tahun ini. Kau masih akan melanjutkan?" tanya Kevin.

Hening menyelinao diantara mereka hingga,

"Tentu saja." jawabnya mantap.

"Apa Kau gila Bryan!!! Apa alasannya gadis itu harus merasakan sakit berulang kali?" suara itu menggelegar dipenjuru ruangan pribadi sang pemimpin perusahaan yang kedap suara.

"Aku hanya ingin yang terbaik untuknya!" balasnya tak kalah emosi.

Keduanya terengah. Kevin menarik nafas dalam berusaha menenangkan diri,

"Aku sangat meyakini bahwa Kau adalah seorang pemimpin yang bijaksana Bryan, bisa menilai yang kau lakukan ini terbaik atau terburuk." ucap Kevin mengintimidasi.

"Tolong, kali ini nilailah perbuatanmu sebagai seorang ayah bukan sebagai seorang suami!!" bentaknya kepada sang sahabat.

Hening menyelimuti mereka yang sedang bergelut dengan emosinya masing-masing, bahkan angin pun enggan bersuara menginterupsi suasana disana.

"Aku mencintai Alysia." balas Bryan lirih membuat lawannya kehilangan kesabaran.

"Kau benar-benar brengsek Bryan!! Bukankah sudah kubilang sejak awal bila Kau tak sanggup merawat bayi itu biar aku saja!!!"

"Kau bisa lihat sendiri kan Aleeyah tumbuh dengan baik bersamaku."

"Baik dimatamu belum tentu baik bagi Aleeyah!!" teriak Kevin, "Aku tak akan segan merebut Ale jika dia tersakiti kembali, camkan itu!!" lanjutnya

Brakkk!!

Kevin keluar dari ruangan sahabatnya itu dengan membanting pintu.

Ya, Kevin adalah sahabat Bryan. Sahabat dekat.

Tentu saja Kevin tau apapun tentang Bryan sekalipun Bryan menyembunyikannya di inti bumi. Kevin menyadari sejak awal ada sebagian sisi dari diri Bryan yang turut menunjuk Aleeyah atas kematian sang istri.

Meski Kevin belum menikah dan jauh lebih muda dari Bryan namun dia telah menyangi Ando dan Aleeyah seperti anaknya sendiri.

Dia merasa dunia ini tidak adil bagi kedua anak yang diselimuti kegelapan itu.

Aleeyah yang harus menerima banyak siksaan fisik maupun batin disalahkan atas kematian sang ibunda, bagaimana bisa seorang bayi yang baru saja dilahirkan disebut pembunuh? Aleeyah tak pantas menerima semua ini.

Ando yang dibutakan oleh balas dendam pada sang adik atas kematian ibunda. Tak mau membuka hati padahal Kevin tau Ando sangat menyayangi Aleeyah hanya saja dendam itu menghalanginya menyadari perasaan itu. Kevin yakin jika Aleeyah sampai pergi dari dunia ini akibat siksaan dari Ando maka Ando lah orang pertama yang akan menangisinya.

Butiran es yang jatuh dari langit berhasil menyentuh helaian rambut Kevin ketika berjalan menuju mobilnya. Dia telah mengambil suatu keputusan yang entah benar atau salah. Kembali ke negara itu untuk sekedar mengawasi Aleeyah.

"Aku tak akan membiarkan putra dan putrimu menderita lagi, Alysia.. Tak akan pernah ku biarkan." gumamnya sembari mencengkram kemudi mobil.

Penerbangan pagi buta Kevin hanya memerlukan waktu beberapa jam. Dia langsung menuju ke rumahnya yang berada di salah satu perumahan elit di kota itu.

Rumah mewah berarsitektur modern menyambut mata setelah memasuki gerbang hitam yg menjulang.

Kevin pulang hanya untuk membersihkan diri kemudian bergegas mengunjungi Aleeyah. Entah mengapa perasaannya tak enak. Dia memacu mobilnya dengan cepat.

Di tempat lain, di sebuah kamar berwarna dusty pink dan abu namun terlihat seperti monokrom karena tak ada cahaya, tampak sesosok gadis terbaring memejamkan mata sambil menggumamkan sesuatu tak jelas.

"Hisk, Papa.. I ne-ed you right now hisk.. hisk,"

Ditinggalkan √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang