Prolog

18.2K 579 4
                                    

Rumah panggung itu berdiri di suatu areal tanah pelataran yang cukup jauh dari kota, belum tersentuh oleh tangan-tangan jahil manusia dan keganasan industri. Sebuah rumah sederhana bercat biru-putih dengan material bambu dan kayu yang sudah lapuk itu memiliki halaman yang luas. Hanya ada pagar bambu sederhana yang menjadi pelindung bagi rumah—yang dibangun sekitar empat belas tahun yang lalu, itu. Terkesan tak pernah tersentuh oleh era modern, bahkan begitu memprihatinkan.

Di halamannya terdapat sebuah bangku yang terbuat dari bambu, singgasana bagi salah satu anak perempuan dari pemilik rumah itu. Tempat ia mencurahkan seluruh isi hati pada diary usangnya seraya memperhatikan anak-anak tetangga yang bermain di pekarangan rumah.

Langit biru nan luas menjadi atap bagi anak-anak yang sedang bermain jajangkungan*. Pergerakan sang angin dalam memainkan jilbabnya yang berwarna hitam, menambah kesan anggun bagi perempuan itu. Netra hitam pekatnya mengintai setiap pergerakan anak-anak, sesekali melirik orang-orang yang lewat di halaman rumahnya.

Beberapa saat yang lalu, ia tak duduk sendirian, teman-teman sebayanya datang bermain—sekadar untuk mengobrol seraya bermain congkak*. Sepintas, ada rasa malu dalam benaknya ketika teman-temannya datang berkunjung. Bagaimana tidak, mereka hanya bisa duduk di atas sebuah tikar tipis guna melapisi lantainya yang terbuat dari kayu; bahkan bukan jati, hanya kayu papan biasa. Tidak seperti saat ia berkunjung ke rumah teman-temannya yang sudah memiliki rumah yang tidak berdinding anyaman bambu, kokoh, dan memiliki furnitur bagus.

Ia mengalihkan pandangan menuju buku tebal yang sejak tadi digenggamnya. Di halaman pertama terukir namanya dengan tulisan tangan yang direka-reka indah, Siti Sabiya.

Buku bersampul warna peach itulah sahabatnya, tempat ia mencurahkan keinginan dan perasaan selain pada Rabb-nya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Buku bersampul warna peach itulah sahabatnya, tempat ia mencurahkan keinginan dan perasaan selain pada Rabb-nya. Ada tangis dan tawa yang ia torehkan melalui tinta di sana, ada rindu-dendam, bahkan harapan. Lantas dibukanya lembar yang masih kosong, tangannya menari di sana, membentuk gambar sebuah rumah yang kokoh dan megah sesuai dengan keinginannya. Gambar itu selesai, namun jarinya masih mengajak pena untuk menari guna meninggalkan jejak-jejak aksara.

Wisma impian... Bercat putih apel dengan kusen-kusen kayu jati yang disirlak berwarna alami, berpagar besi ukir warna tembaga, memiliki beranda yang diisi dengan kursi Jawa sebagai tempat untuk menghabiskan waktu saat senja. Semoga, nur ketauhidan jua turut serta di dalamnya.

***

*Jajangkungan: egrang, jangkungan.
*Congkak: congklak, dakon (dalam bahasa Jawa).



Bismillah.
Vote, komentar, maupun kritik pembaca begitu Jihan tunggu, ya! Jihan harap sih apa yang dilontarkan kalian mampu memotivasi Jihan untuk menulis cerita yang lebih baik lagi, baik dari segi alur maupun diksi.

Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang