Terdapat sedikit adegan dewasa🙏
Happy reading!
—"Abah, kenapa Ibu, Abang, dan Adek tidak pernah lagi kemari?"
Pertanyaan Naufal beberapa hari lalu masih saja bercokol di pikirannya. Bila saat itu ia bisa menjawab dengan mudah, 'karena Abah dan Ibu tidak bisa lagi tinggal bersama'. Tetapi kini, setelah dipikir ulang, ia tidak bisa menjawabnya. Lebih tepatnya enggan menjawab, sebab ia pun sama tak mengertinya dengan bocah berusia enam tahun yang sekarang tengah terlelap di tengah ranjang itu.
"Mas..." ucapan Ayu membuatnya mengalihkan pandangan.
Ayu berdiri di ambang pintu kamar mandi. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, menyapu gaun tidur satin tipis berwarna merah yang dikenakannya. Kontras sekali dengan kulit mulusnya yang seputih susu. Karenanya Addar bangkit, membawa setitik adrenalin yang perlahan menggeliat hebat.
"Ay, nifasmu sudah selesai?"
"Sudah," jawab Ayu, sambil balas menatap suaminya. Lalu tanpa aba-aba Addar melakukan apa yang sejak tadi ingin dilakukannya. Jemarinya yang besar hendak meloloskan tali gaun satinnya, tetapi urung ketika Ayu mencegahnya sambil berkata, "Kita memiliki risiko besar sebelum memeriksakan diri..."
"Tidak apa-apa selama lukanya kering," sanggah Addar sambil meneruskan keinginannya. Namun begitu menatap luka di sekitar pangkal paha istrinya, adrenalinnya menguap entah kemana. Digantikan oleh rasa jijik yang ditutupinya dengan helaan napas panjang.
Di hela napas yang entah ke berapa, ponsel lelaki itu berbunyi nyaring. Membuat si pemilik tersenyum penuh syukur, ia tak perlu terang-terangan menunjukkan perasaannya dan menyakiti Ayu.
Addar mengubah posisinya kembali berdiri hanya untuk mengecup pipi istrinya pelan, "Mas angkat telepon dulu, Ay. Sepertinya masalah pekerjaan."
Ayu mengangguk, "Segera kembali ke tempat tidur begitu sambungannya selesai."
Addar hanya membalasnya dengan anggukan, kemudian berlalu menuju ruang makan setelah menyambar ponselnya lebih dulu. Mamah Vania.
Dengan ragu ia menerima panggilan tersebut dan membiarkan istri kedua mendiang ayahnya menyapa terlebih dahulu.
"Le?" Panggilnya lembut ketika Addar tak menyahut. "Ini kamu apa Ayu?"
"Ini aku," jawab Addar kaku. Ini kali pertama mereka berbincang via telepon dan Addar tentu merasa canggung. "Ada apa... Mah?"
"Kamu sudah berapa lama ndak ngurus kandang?"
Pertanyaan Mamah Vania membuatnya melayangkan ingatan. Seingatnya, ia masih mengurusi kandang ketika Siti masih berstatus istrinya. Itupun hanya kandang di dekat kawasan rumahnya, entah sebulan entah dua bulan yang lalu. Addar tak begitu mengingatnya, atau mungkin tepatnya tidak ada yang mengingatkannya.
"Le, kamu masih di sana?"
"Iya, Mah. Aku masih di sini," sahut Addar. "Aku lupa kapan terakhir kali jenguk keadaan kandang. Mungkin dua bulan lalu, atau... entahlah."
Addar mendengar helaan napas dari arah seberang. Pelan sekali, "Tadi sore ada Mamat datang ke rumah, meminta upah pegawai segera diberikan. Benar kamu belum memberi mereka bayaran selama dua bulan ini?"
Addar tersentak.
"Le, Mamat sama pekerja kamu yang lain itu kepala keluarga. Mereka pasti butuh uang untuk menghidupi istri dan anak-anak mereka. Jadi Mamah minta tolong kewajiban kamu itu diperhatikan baik-baik, mereka sudah urus kandang kamu dengan jujur," lanjut Mamah Vania. "Mamat juga sempat cerita kalau tadi dia ke rumah kamu sebelum ke rumah mendiang Abi ini. Tapi ndak ada siapa-siapa di sana. Tetangga sekitar bilang kalau rumah itu sudah dijual."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
EspiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...