"Bunda, Papa kok dari tadi nggak masuk kamar?"
Pertanyaan dari anak-anaknya yang sudah bersiap tidur telah dilontarkan beberapa kali dalam waktu kurang dari satu jam. Sejujurnya ia turut merasa bersalah, lelaki itu berhak marah karena ia meragukannya. Tetapi tidakkah lelaki itu mengerti jika dikecewakan oleh orang terdekatnya meninggalkan luka yang sulit untuk sembuh, dan dia tidak ingin merasakan luka itu untuk yang kedua kali.
"Nanti Papa tidur kalau udah ngantuk. Abang sama Adek tidur duluan aja," jawab Siti akhirnya.
"Bunda sama Papa berantem?"
Siti menggeleng. Rupanya Irvan berkata benar ketika anak-anak mengintip perselisihan mereka di dapur dari dekat tangga. Seharusnya Siti paham satu hal, lelaki itu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Apa yang keluar dari bibirnya selalu berupa fakta dan kebenaran. Tetapi rekaman adegan itu, apakah bukti kebenaran perbuatan Irvan?
"Bunda, Papa nggak mukul Bunda, kan?" kini giliran si sulung yang memastikan.
"Papa nggak mukul Bunda. Kami juga nggak berantem," jawab Siti. Mereka memang tidak bertengkar, hanya berdebat saja. "Adek sama Abang ngintip, ya? Gak baik loh ngintip orang tua lagi ngobrol."
"Tapi Bunda nangis. Adek sama Abang khawatir," jawab Yasna.
"Bunda nggak kenapa-kenapa, kok." ucap Siti meyakinkan. "Abang sama Adek tidur, ya. Besok kan harus sekolah, nanti bisa kesiangan. Papa pasti nyusul kemari."
Keduanya mengangguk dan segera memejamkan mata. Tak perlu waktu lama agar anak-anak terlelap karena memang mereka sudah terlihat sangat mengantuk.
Siti menatap langit-langit kamar yang polos dan tanpa noda. Lalu memutuskan untuk mencari keberadaan lelaki itu. Biar bagaimanapun ia juga salah, tidak seharusnya ia cepat menggunakan emosi dibanding akal sehat.
Untuk itulah Siti menyusuri tangga dan menuju ruang keluarga ketika mendengar suara lelaki itu mengerang frustasi. Namun ketika Siti sampai di ruangan temaram itu, ia mendapati Irvan tengah menelepon seseorang dan memunggungi arah kedatangannya. Lelaki itu bahkan membiarkan laptopnya yang menyala di atas meja dan menampilkan konten apa yang sedang ditontonnya. Cara mengecek keaslian video.
Hati Siti mencelos. Terlebih ketika Irvan berkata, "Dim, kolega yang kemarin hadir dapat fasilitas suite?... Saya baru kepikiran, kamu nginep di sana atau ndak? Oh enggak ya? Syukur deh. Ya udah, saya mau nanya itu aja."
Irvan berbalik dan terkejut ketika Siti memeluknya, "Aku minta maaf udah bikin Mas marah. Tapi Mas nggak ngerti kalau aku takut harus kecewa kembali."
Lelaki itu balas memeluknya erat, "Mas nggak marah. Mas cuma nggak mau terus-terusan kamu anggap mirip sama Mas Addar. Mas bukan lelaki seperti mantan suami kamu, Ti. Dan sepertinya Mas harus sedikit berusaha agar kamu percaya kalau Mas nggak main-main sama kamu, sama pernikahan kita."
"Maaf."
"Asal jangan diulang," jawab lelaki itu singkat dan mengurai pelukan. Irvan duduk di sofa dan kembali mengotak-atik ponsel sang istri dan ponsel dirinya sendiri. "Mas baru ingat kalau Aga jago beginian. Sini, duduk! Kita cari jalan keluarnya sama-sama, semoga pendapat Aga soal kiriman Tika lumayan membantu."
Siti hanya bisa menurut. Tepat dering ke tiga, lelaki bernama Aga di seberang sana langsung tertawa.
"Lu telepon gue malam-malam cuma mau lihatin foto gituan? Van, lu kalau pingin nyobain tidur di suite hotel gue bilang aja. Nggak perlu kirim foto editan segala," celoteh lelaki itu sambil setengah tertawa.
"Jadi itu editan?" gumam Siti. Aga berdehem ketika menyadari teman satu kost-nya dulu me-loudspeaker sambungan telepon mereka.
"Setelah kuedit beberapa kali, jelas kok kalau foto itu editan, kecuali untuk tanggal pengambilannya foto. Bagian punggungnya sengaja dibuat agar mirip punggung Irvan. Ya setidaknya aku rada inget sama punggung Irvan semasa kuliah, di foto ini agak dimiripin, sih," jawab Aga. "Pencahayaannya juga dibuat temaram agar kelihatan ada efek sensual gitu. Padahal foto tersebut diambil ketika terang, ini nomor kamar dekat telepon kelihatan. Kamar 530."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
EspiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...