Siang itu juga Siti bergegas meninggalkan anak-anaknya di rumah demi mengurus berkas kepindahan mereka, pun berkas perpisahan antara ia dan Addar. Ia sudah memutuskan untuk tinggal di pusat kota atau dimana saja, asalkan jaraknya cukup jauh dari kediamannya semula. Benar kata Akbar, mereka bertiga harus cepat-cepat hengkang dan menjauh dari Addar dan istri barunya.
Enggan kembali larut dalam kesedihan, Siti memutuskan untuk menemui Ceu Qulsum di tempat catering milik mereka yang jaraknya tak begitu jauh dari tempat ia berdiri sekarang. Dari kejauhan, Siti dapat melihat kesibukan kakak perempuan yang paling dekat dengannya itu.
"Kok ke sini teu bilang-bilang? Ceuceu teh mau transfer uang penjualan catering bulan ieu, tapi lupa. Tahu kamu mau ke sini mah tadi teh diambil sekalian," sambut Qulsum dengan logatnya yang khas.
Siti memaksa seulas senyum tipis, "Gak apa-apa, Ceu. Maaf selama ini aku gak bisa bantu banyak di sini."
"Kamu itu suka segala dipikirin. Catering ini teh punya pegawai, Ceuceu juga gak kerja banyak. Ayo ah masuk, Ti! Kita bicara di kantor," ajaknya sambil memasuki ruangan dengan pintu kayu jati. Hanya ada dua kursi dan satu meja di sana. "Sampai kapanpun, kamu teh gak akan bisa bohongin Ceuceu. Ada apa, Ti? Cerita sama Ceuceu."
"Aku memutuskan untuk naksi*, Ceu," jawab Siti.
"Masih karena Naufal?"
Siti menggeleng, "Kalau hanya anak kecil, aku mungkin bisa membesarkannya. Tapi jika menyangkut kepercayaannya pada rumah tangga kami berdua, itu masalah besar yang sulit aku kecilkan.
"Dia... Dia menipuku habis-habisan selama ini, Ceu. Apa aku... Apa..."
"Sudah, jangan dilanjutkan, Siti. Ceuceu tahu keputusanmu pasti sudah kamu pertimbangkan masak-masak," ucap Qulsum lembut. "Ceuceu masih memberikan kamu tawaran rumah Mas Kuncoro, Ti. Rumahnya ada di pusat kota. Kamu dan anak-anak bisa tinggal di sana untuk sementara waktu. Ini kuncinya, kamu pegang saja."
Siti mengangguk pelan, "Terima kasih, Ceu."
"Sami-sami. Ceuceu dan kakak kamu yang lainnya akan selalu ada di pihak kamu. Kami pasti bantu kamu," ucapnya.
"Sekali lagi terima kasih, Ceu. Aku mungkin akan pamit pulang, kasihan anak-anak kalau terlalu lama di tinggal."
Baru beberapa detik ia berhenti bicara, pintu ruangan itu diketuk dari luar. Begitu pintu terbuka, mereka mendapati Nurina-seorang pegawai baru di catering mereka, berdiri canggung di sana.
"Maaf, Bu. Itu di depan ada Pak Yuda, katanya teh mau ambil pesanan."
"Biar pesanannya saya yang antar langsung. Nuhun, Nur," jawab Qulsum. Tetapi begitu Nurina hendak beranjak, Qulsum kembali memanggilnya, "Tolong bungkus beberapa kue untuk adik saya."
Begitu Nurina berlalu, mereka menemui Yuda yang duduk di kursi tunggu. Kali ini ia memakai jaket bomber dengan dipadukan celana bahan hitam. Sekilas, Siti bahkan tak mengenal lelaki di hadapannya.
"Mas Yuda," sapanya sambil tersenyum.
"Siti, Ceu Qulsum," balasnya menyapa ramah. Kemudian setelah menerima satu bingkisan dari Qulsum, ia menambahkan, "Jazaakillah, Ceu. Maaf kalau kemarin saya pesannya malam-malam, sampai ganggu istirahat Ceuceu."
"Gak apa-apa, atuh. Namanya juga ngidam, mau tengah malam juga harus dituruti. Ceuceu yang harusnya minta maaf, kamu pesannya malam tapi putu ayu-nya baru matang siang ini."
"Mbak Andien lagi isi, Mas?" Tanya Siti, Yuda mengangguk senang. "Mubarak, ya, Mas. Semoga sehat-sehat sampai melahirkan."
"Aamiin, Ti. Terima kasih do'anya," jawab Yuda. "Kamu mau pulang sekarang? Kalau iya, ayo Mas antar sampai rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
EspiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...