Rumah megah Irvan ternyata benar-benar disentuh oleh jemari artistik. Siti sampai dibuat kagum dengan rumah bujang itu. Ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan dan kitchen set—yang didominasi oleh warna abu dan putih tampak mulai lengang. Beberapa kerabat Siti sudah pulang karena alasan hari sudah petang. Sementara ia dan anak-anak masih duduk dan berbincang dengan keluarga Irvan yang sebenarnya hanya menyisakan Athia dan Rara—kedua kakak Irvan, serta tentu saja pria itu hadir di sana. Ibu sudah pamit ingin beristirahat, yang kemudian memicu Athia mengusir Irvan agar segera beristirahat di dalan kamar.
"Apa aku bilang, mereka berdua pasti ada apa-apa," ucap Rara pada Athia. Sementara perempuan pemilik aksen Inggris yang kental itu hanya tersenyum menanggapinya. "Ndak biasanya adik kita yang kayak batu itu mau sama perempuan."
"Mbak Rara ini suka ngawur," timpal Irvan. "Kayak aku ini pengidap orientasi saja."
"Habis Mbak sama Mbak Athia ndak pernah lihat kamu pacaran. Sama Gina aja kamu ndak mau, padahal udah kenal lama," celetukan Rara membuat Irvan menoleh pada Siti yang juga tengah menatapnya.
"Ti, saya gak pernah ada hubungan apa-apa sama Gina," ucap Irvan buru-buru. Siti kian menatapnya intens dan membuat Irvan semakin resah. Tetapi ketika ketiga perempuan di sana tertawa pelan, ia baru menyadari jika ia sudah dibodohi.
"Om Irvan jangan sama dokter Gina, harus sama Bunda aja."
Akbar yang berada di pangkuan lelaki itu turut melayangkan protes. Tetapi Athia yang memilih untuk meluruskan, "Om Irvan gak mungkin sama dokter Gina. Kan udah mau jadi ayahnya Akbar sama Yasna."
"Budhe kok logatnya aneh?"
Baik Athia maupun Rara sama-sama tertawa mendengar pertanyaan Yasna. Anak kecil yang bergelayut di lengan Irvan itu sedari tadi mencuri pandang kepadanya, "Budhe kan nikah sama orang Amerika dan lama tinggal di sana. Jadi logat bicaranya ikutan aneh."
Mendengar jawaban tersebut, Yasna berbisik, "Om, Adek juga mau ke sana."
"Boleh, tapi gak bisa sekarang, ya. Soalnya harus urus berkas-berkasnya dulu," jawab Irvan memberi pengertian. "Adek mau ketemu Pakdhe Jody sama Kak Ben, ya?"
Yasna menggeleng pelan, "Adek mau tahu logat aneh di Amelika aslinya kayak gimana."
Seisi ruangan itu kembali diriuhkan oleh tawa. Tetapi begitu melihat Yasna beringsut menyembunyikan wajahnya di lengan Irvan, Rara memilih beranjak. Selain karena harus pulang sesuai titah suaminya, ia juga merasa tak yakin jika mulut ceriwis perempuannya bisa diajak kompromi. Untuk itulah ia menghindar dari sana.
Sementara Athia yang tampak lebih keibuan berkata dengan lembut, "Mau mendengar logat aneh itu sekarang? Yuk ikut Budhe video call-an di lantai atas. Sekalian Budhe kenalin sama Pakdhe Jody dan Kak Ben."
"Abang boleh ikut?" Tanya Akbar menimpali. Athia mengangguk dan menggiring kedua anak itu meniti titian tangga demi tangga, meninggalkan calon pasangan yang dari tadi dikerubungi banyak orang itu berdua saja.
"Gimana kabar kamu hari ini?" Tanya Irvan sembari meneguk jus jeruk yang sedari tadi diabaikannya di atas meja.
"Mas telat nanyanya," jawaban Siti malah mengundang tawa renyah Irvan.
"Gak apa-apa, yang penting cincin lamaran sama kue ulang tahunnya nggak telat."
"Nggak telat tapi gak bisa dimakan," sanggah Siti sembari melihat kue tart yang terbuat dari clay di atas meja makan. "Tapi, terima kasih ya. Meskipun aku nggak suka kejutan, aku merasa senang."
"Sama-sama. Sudah jadi tugas Mas untuk selalu membuat kamu merasa senang," jawab Irvan dengan senyuman. "Mas mau pernikahan kita dipercepat, Ti. Satu bulan lagi, mungkin."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
EspiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...