Waktu seolah mendukung akhir pernikahan mereka. Sampai-sampai Addar merasa selama ini jam berlari-lari agar secepat mungkin membawanya pada hari ini; sidang perceraian pernikahan pertamanya yang sudah berlangsung sedari tadi.
Jam tidurnya yang terganggu karena harus menenangkan Addy, membuat Addar kehilangan fokus. Belum lagi jika memikirkan pertemuan terakhirnya dengan Siti dan anak-anak yang tidak begitu baik, bahkan menyisakan tanda merah di pipi perempuan itu.
Kesadaran Addar baru kembali ketika hakim melayangkan tanya pada perempuan yang tengah dipikirkannya.
"Jadi Saudari Siti, setelah melakukan mediasi, apakah Anda tidak ingin mempertimbangkan kembali keinginan Anda untuk bercerai dengan Saudara Addar?"
Addar sedikit menoleh ke arah Siti yang tampak kurang sehat di matanya. Hidung perempuan itu sedikit memerah dilengkapi dengan bibirnya yang agak pucat. Tetapi suara sengau perempuan itu sekarang jauh lebih tegas, "Tidak, Yang Mulia. Saya tetap ingin berpisah."
"Bagaimana dengan Saudara Addar? Apakah Anda masih ingin mempertahankan rumah tangga kalian?"
Addar kembali melirik kepada Siti yang kini balas menatapnya; menunjukkan rasa sakit yang tak lagi ditutup-tutupi. Karena hal itu pula yang membuatnya memutuskan menjawab dengan penuh kepasrahan.
"Saya rasa perpisahan memang cara satu-satunya untuk kami berdua, Yang Mulia Hakim."
Lalu sepanjang sisa sidang hari itu, dimana palu hakim dijatuhkan untuk perpisahan mereka, Addar menghabiskan waktunya dengan merenung. Bahkan ketika Siti dan keluarganya keluar dari ruang sidang, ia berjalan menyusul tanpa semangat.
"Ada urusan apa lagi?" Sentak Bang Ghalib ketika Addar sudah muncul di hadapan mereka. Beruntung sidang kali ini Siti hanya ditemani Bang Ghalib dan Ceu Kulsum, tidak seperti persidangan sebelumnya dimana seluruh kerabat istrinya memenuhi ruang sidang. Sangat kontras dengan kehadiran keluarganya yang hanya diwakili Mamah Vania, bahkan ibu tirinya tidak menyaksikan perpisahannya dengan Siti hari ini.
"Tolong biarkan aku menghidupi kalian. Setidaknya kedua anak kita masih menjadi tanggunganku," pinta Addar. Siti hanya menatapnya lekat. Menyaksikan wajah pucat Addar tidak sedikitpun menghadirkan percikan iba di benak Siti. Hatinya memang sudah beku untuk laki-laki itu. Beruntung hakim meluluskan keinginannya tanpa perlu membeberkan pada orang lain jika dirinya positif mengidap penyakit memalukan.
"Izinkan aku bertemu anak-anak," pinta Addar. Tetapi Siti berjalan menuju halaman gedung pengadilan, dengan diikuti Addar dan kedua kakaknya.
Addar tak lagi bertanya ketika mendapati kedua anaknya sedang bermain bersama lelaki dengan rambut hitam yang rapi. Lengan kemeja lelaki itu digulung hingga siku. Addar menggeram. Lelaki itu lagi.
"Ayah ingin bertemu," ucap Siti ketika ia sudah dekat dengan mereka. "Terima kasih sudah berkenan menjadi saksi, Mas Yuda."
Yuda hanya mengangguk, lantas berlalu setelah menjabat tangan Ghalib yang baru sempat ditemuinya. Addar memilih mengalihkan pandangan pada kedua anaknya daripada menuruti rasa cemburu yang menggebu.
"Abay, Nana," panggil Addar lembut. "Ayah minta maaf gak bisa bareng-bareng lagi sama kalian."
"Memangnya kapan kita selalu bareng? Ayah juga jarang ada di rumah kalau kami butuh Ayah," sanggah Akbar.
"Abang..." Tegur Siti mengingatkan.
"Memang seperti itu kenyataannya, Bunda."
"Tapi Ayah sudah minta maaf. Abay gak mau maafin Ayah?" Tanya Addar. Raut sedih terbaca di wajah lelaki itu.
"Kalau dimaafin juga nanti bikin salah lagi," ketus Akbar. "Ayo, Bunda. Abang udah laper."
"Sayang, gak boleh gitu dong sama Ayah," bujuk Qulsum.
"Dia cuma bisa nyakitin Bunda dan bikin Adek ketakutan," jawabnya sambil bergegas memasuki mobil milik Ghalib. Qulsum ikut menyusul keduanya.
"Aku hanya bisa menyalahkan kamu atas sikap Akbar yang menjadi seperti itu," ucap Siti.
"Mas mengerti," gumam Addar, kemudian ia menyerahkan dua kartu berwarna merah dari dalam dompetnya. Tabungan pendidikan anak-anaknya, "Ambil tabungannya, Ti. Anak-anak harus sekolah sampai kuliah, seperti yang sudah kita diskusikan dulu."
Siti mengangguk, "Terima kasih, untuk semua rasa sakit yang membuatku merasa ingin mati..."
***
"Jus alpukat dan brownis coklat, seperti biasanya," ucap Siti sembari menaruh kedua menu yang disebutkannya di depan Irvan.
Sejak mengetahui ia membuka cafe kecil yang berjarak sepuluh kilometer dari rumah sakit tempatnya bekerja, dokter itu hampir berkunjung setiap hari dan memesan pesanan yang sama. Sesekali ia akan bermain atau sekadar mendengarkan celotehan anak-anaknya, seperti saat ini misalnya. Dan Siti kerap membiarkan mereka bertiga turut meramaikan sudut cafe.
"Terima kasih," jawabnya seperti biasa. Lalu Akbar kembali memonopoli perhatian lelaki itu, "Kan tiap sore ada Om Irvan, jadi Abang bisa kerjakan tugas rumahnya di cafe bareng Om. Biar nggak kelupaan kayak kemarin."
"Adek boleh ikutan?" Tanya Yasna antusias.
"Boleh dong," jawab Irvan. "Abang sama Adek belum boleh memikirkan urusan orang dewasa, apalagi sampai lupa sama kepentingan sekolah. Seusia kalian harusnya cuma ingat sama belajar dan mainan."
"Kami kepikilan sama Bunda soalnya sekalang Bunda seling ke lumah sakit," jawab Yasna. "Lagipula Adek gak punya banyak mainan. Mainannya sengaja ditinggal di lumah yang dulu."
"Bunda juga sering minum obat. Sebenarnya Bunda sakit apa, Om?"
Irvan mengacak-acak rambut Akbar, "Bunda kalian gak kenapa-kenapa. Cuma perlu rutin minum obat biar nggak sakit."
"Beneran, Om?"
"Iya, Abang. Om kan dokter," jawab Irvan setelah meneguk jus alpukatnya.
"Kalau gitu Om jadi ayahnya Adek sama Abang aja, bial bisa jagain Bunda juga," usul Yasna yang membuat Irvan tertawa pelan. Anak kecil di hadapannya memintanya untuk segera menikah dengan cara yang lebih halus. Berbanding terbalik dengan tiga saudarinya yang kerap menjodohkannya dengan perempuan yang dirasa memenuhi kualifikasi untuk bersanding dengannya.
Salah satu saudari yang gemar merecoki kesendiriannya adalah Rara, perempuan yang memasuki ruang kerjanya tanpa permisi tempo lalu. Ia juga yang membuat seorang Irvan Ali tengah hangat diperbincangkan di grup WhatsApp keluarga sampai saat ini.
"Wajah Om Irvan udah masak," ucap Akbar yang membuat Irvan mengalihkan pandangannya. "Adek cuma bercanda, Om. Kan udah ada Abang yang jagain Bunda."
Irvan hanya tersenyum, kemudian mengalihkan pandangan pada perempuan yang kini mengenakan jilbab merah marun itu. Ia melabuhkan tatapannya cukup lama di wajah perempuan itu sebelum menjawab perkataan Akbar, "Meski serius juga nggak apa-apa, Bang."
"Abang gak tahu harus bilang apa," jawab Akbar setelah terdiam cukup lama. Irvan kembali mengacak-acak rambut Akbar begitu mendengar jawaban polosnya. Jemari kecil Akbar memasang borgol mainan-yang sedari tadi tergeletak di meja, di pergelangan tangan kiri Irvan, "Tangan Om Irvan nakal jadi harus dihukum kayak gini."
"Ampun, Pak Polisi..." ucapnya setengah merengek, terlebih ketika Akbar memasangkan borgol lainnya di pegangan kursi lelaki itu. Lalu setelahnya baik Akbar maupun Yasna tertawa menyaksikan wajah Irvan yang pura-pura tersiksa, dan Irvan hanya perlu berakting agar mendengar tawa mereka lebih lama.
***
Sebenarnya akutu gak suka sama Addar, jadi nulis lagi biar mereka pisah secara sah😁
Good night, guys! Jangan lupa vomment dan baca do'a sebelum tidur.Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...