Addar termenung sambil menatap Naufal yang tengah tertidur. Jemarinya yang mungil dijejali jarum infus. Anak lelakinya itu sudah siuman dua hari lalu. Namun tetap saja sebagian dirinya merasakan nyeri menyaksikan anaknya kesakitan.
Sudah dua hari ini ia tidak pulang, sudah dua hari pula mantan istrinya tidak kunjung menampakkan batang hidung. Begitu juga Fandy.
Addar mengelus kepala Naufal sejenak, sebelum jemari besarnya membungkus jemari mungil Naufal. Ia begitu menyayangi Naufal—meskipun jika memang benar ia bukanlah darah dagingnya. Dimatanya, Naufal merupakan anak yang paling membutuhkan kasih sayangnya. Sejak pertama kali lahir ke dunia, ia hanya merasakan kasih sayang orang tuanya ketika Addar sempat berkunjung ke Yogya. Naufal butuh dirinya, dan selama bertahan-tahun ia mesti rela tinggal diasuh ibu tirinya.
Hal serupa juga berlaku untuk ibu Naufal. Ia mengenal Ayu jauh sebelum ia mengenal Siti. Perempuan itu tinggal sendirian dan berjuang untuk hidupnya sendiri. Rasanya sudah cukup bagi Addar untuk tidak menambah luka di hidup perempuan itu. Demi apapun ia masih mencintainya, masih menginginkannya. Serupa dengan ia yang masih mendambakan Siti kembali.
Addar tertawa dalam hati. Tawa yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Mengapa ia bisa marah dan membentak Siti, bahkan menamparnya, ketika ia bahkan hanya dilanda cemburu. Sedangkan Ayu yang jelas-jelas menggandeng tangan lelaki lain dan membuang dirinya begitu saja tidak sedikit pun mendapat makian darinya. Sekali lagi ia bertanya pada hati kecilnya, benarkah ia mencintai Ayu atau hanya dilanda nafsu?
Getar ponsel di saku celananya menarik kembali kesadarannya, ia cepat-cepat menekan tombol hijau untuk meredam suaranya, "Iya, ada apa, Bi?"
"I-itu, Pak, anu... Tadi ada orang dari kadang di kampung ke rumah. Katanya, orang-orang di sana mogok kerja. Bapak belum bayar upah mereka, ayam juga nggak Bapak urusi; sebagian jadi penyakitan dan mati."
Addar berdecak, "Siapa? Tono atau Hadi?"
"Bibi kurang tahu, Pak. Wajahnya beringas, dia bahkan marah waktu tahu Bapak nggak di rumah."
Addar berdecak sebal. Ada saja masalah yang menerpa hidupnya. Sebenarnya apa yang sudah ia perbuat hingga peristiwa-peristiwa naas selalu menimpa dirinya?
"Ya sudah, nanti saja saya urus masalah itu kalau Opal udah pulang."
"Oh ya, Pak. Satu lagi.."
"Apalagi?!"
"Anu.. Itu.. Em—"
"Bibi ini banyak anu-anu, anu apa?" Addar gemas sendiri dibuatnya.
"Mbak Ayu pulang ke rumah, dia bawa laki-laki."
Barulah Addar merasa bahwa ia masih punya sisa-sisa amarah. Darahnya terasa mulai mendidih dan kepalanya berdenyut seakan hendak pecah. Ingin rasanya ia berteriak, menyumpah serapahi mantan istrinya yang tak tahu malu itu.
"Bibi nggak larang dia masuk?"
"Udah, Pak. Tapi, Mbak kan galak, nggak kayak Ibu yang lemah lembut. Bibi mana mau berurusan sama Mbak," jawabnya yang mau tidak mau dibenarkan olehnya. "Lagipula Mbak bilang cuma mau ambil koleksi tasnya."
"Dia masuk kamar kalau gitu!"
"Iya, Pak. Laki-lakinya juga ikut masuk kamar!"
"Bangsa—"
Umpatannya terhenti ketika mendengar suara gaduh dari arah seberang, sementara asisten rumah tangganya yang sudah agak renta buru-buru pamit untuk mematikan telepon. Ia berjanji akan menghubungi Addar beberapa saat lagi, namun sebelum benar-benar terputus, Addar mendengar Bibi bergumam, 'mereka bertengkar'.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
EspiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...