Part 2: Semesta pun Runtuh

8K 510 22
                                    

Addar secara sukarela menjadikan lengannya yang berotot sebagai bantal tidur isterinya yang tengah mengandung anak pertama mereka. Tangan kasar lelaki itu meraba perut buncit isterinya dari luar daster yang warnanya telah memudar. Sesekali, perutnya menggembung di bagian tertentu—yang diduganya tumit atau siku si jagoan di dalam sana. Mungkin sebagai reaksi atas usapan lembut ayahnya malam itu.

"Sakit nggak, Sayang?" Tanyanya khawatir ketika bayi dalam kandungan isterinya masih aktif bergerak. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

"Sedikit," jawabnya seraya memerhatikan wajah lelah suaminya.

Lelaki itu sudah mengorbankan tenaganya hari ini sebagai kuli panggul yang upahnya tak sebanding dengan usaha yang sudah dilakukannya. Ia berjuang sampai rambutnya menjadi kemerahan dan kulitnya berubah warna ke arah cokelat.

"Sayang, kamu tidur, ya. Sudah malam, Bunda juga harus istirahat," ucap Mas Addar seraya mengubah nada suaranya menjadi lembut tanpa berhenti mengusap-usap perutnya dengan sayang hingga bayi mereka tak lagi menendang.

"Mas, hasil USG menunjukkan jika jenis kelaminnya laki-laki. Kalau memang benar, Mas udah siapin nama buat dia?" Tanyanya yang dijawab anggukan oleh lelaki itu.

"Muhammad Naufal Akbar, gimana?" Tanya Addar seraya membelai rambut hitam sebahu isterinya.

"Bagus," gumamnya. "Tapi apa Mas nggak mau menambahkan Quthni sebagai nama belakangnya?"

"Nggak," jawab Addar cepat. "Asal arti namanya baik, menurut Mas nggak perlu harus ditambahkan marga di nama belakangnya. Lagipula sampai detik ini, Mas sendiri nggak tahu apa arti nama Mas. Addar Quthni, apa coba artinya?"

"Kenapa Mas pilih nama Muhammad Naufal Akbar?" Tanyanya penasaran tanpa berniat meladeni pertanyaan suaminya barusan.

"Pertama, artinya jelas bagus. Kedua, lebih fleksibel. Nama panggilannya bisa beragam. Mulai dari Ad, Opal, Naufal, Fal, Abay, Akbar, Bar, dan masih banyak lagi," jawabnya seraya terkekeh.

Bayangan beberapa tahun lalu menari-nari dalam ingatannya. Jelas ia tak akan lupa sorot 'sedikit' tak ikhlas suaminya pasca persalinan, jika Ibu dan Abah masing-masing ingin berkontribusi dalam nama cucunya kali ini. Ibu menyumbangkan nama Fadil, sementara Abah mengusulkan Ataurrahman. Dengan berat, Addar menyetujui perubahan nama anak pertamanya itu, Akbar Fadil Ataurrahman.

Namun yang membuatnya tak habis pikir adalah Addar berani memberikan nama itu untuk anak yang selama ini disembunyikannya bersama sang ibu tiri. Betapa rapat sandiwara mereka hingga Siti yang sering berkunjung ke sana tak pernah sekalipun bertemu dengan Naufal.

"Nduk, Mamah minta maaf."

Entah untuk yang ke berapa kali ibu mertuanya mengucapkan kata maaf. Siti terlalu enggan menghitung dan memedulikannya, semua kata maaf dari bibir wanita itu bahkan tak dapat mengubah apapun. Naufal telah lahir dan tak mungkin ia—sebagai seorang perempuan yang memiliki hati, dengan mudah memaafkan ulah suaminya sementara bukti atas pengkhianatan itu terpampang jelas di depannya.

"Bi Diah," panggil Siti mengabai ucapan maaf yang sudah bosan mampir di pendengarannya itu.

"Iya, Bu?" Sahut ART siaga yang satu itu.

"Tolong Bibi panggilkan Akbar sama Yasna, ya!"

"Baik, Bu."

Selepas kepergian Bi Diah yang muncul dari teras depan tadi, suasana kembali hening. Anak lelaki itu menatap isteri dari ayahnya dan sang nenek dengan ekspresi bingung, lalu kembali menatap robotnya.

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang