Ketika merasa sudah lebih baik, Siti memutuskan untuk pulang daripada terus-menerus menumpang dan menyusahkan keluarga Addar. Meski mereka sama sekali tidak keberatan atas kunjungan Siti dan anak-anaknya, tetap saja Siti masih merasa sungkan. Baginya, Addar sudah menjadi orang yang paling asing. Lelaki itu sudah berkhianat dan ingkar pada janji yang diucapkan dahulu.
"Aku pamit Mah," ucapnya pada Mamah Vania. Jemarinya mengusap kepala Siti dengan penuh kasih sayang.
"Hati-hati. Mamah pasti mendukung apapun keputusan kamu nanti, sekalipun kamu memilih perpisahan," tutur perempuan paruh baya itu. "Nduk, sekali lagi Mamah minta maaf, Mamah ndak tahu apa-apa tentang Ayu dan Naufal. Tolong jangan jauhi Mamah juga. Sampai kapanpun kamu akan tetap jadi menantu Mamah."
"Benar, Ti. Kami juga akan tetap jadi Mas dan Mbak-mu," imbuh Diana sembari memberinya pelukan.
"Terima kasih, Mah, Mbak. Tidak akan ada yang berubah kecuali aku bukan lagi istrinya."
"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan menghubungi kami, Ti. Apalagi kalau menyangkut anak-anak," ucap Mas Abrar. Siti hanya mengangguk. "Sering-sering main kesini! Biar Arini ndak mayun mulu kayak sekarang."
Mereka terkekeh pelan. Lalu sedikit tawa itu mengantar kepulangan mereka kali ini.
Siti dan kedua anaknya mulai memasuki gerbong kereta. Tetapi keberangkatannya kini tidak hanya bersama anak-anaknya, karena seorang lelaki juga turut menempati tempat mereka.
"Permisi," ucapan Siti disambut dengan senyum ramah si lelaki.
"Silakan, Mbak," jawabnya sembari bangkit dan mempersilakan mereka memilih tempat duduk. Kemudian kembali duduk di sebelah anak perempuan yang tengah menatap keluar jendela.
"Bunda, kenapa kita pulang ke rumah?" Tanya Akbar begitu kereta mulai melaju.
"Karena ada beberapa hal yang harus Bunda urus sebelum kita pindah," jawab Siti sambil mengusap rambut hitam Akbar. Anak lelakinya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi urung dilakukannya.
Sambil tersenyum ia berkata, "Kemanapun Bunda pergi, Abang sama Adek akan selalu ikut Bunda. Abang kan udah janji akan selalu jaga Bunda sama Adek."
Siti mengacak rambut Akbar pelan, "Tetap tidak membenarkan ucapan Abang tempo hari. Abang harus tetap hormat sama Ayah."
"Maaf, Bunda. Abang gak mau Ayah kasar sama Bunda."
"Itu apa, Om?"
Pertanyaan Yasna membuat perhatian Siti teralih. Anak perempuannya termasuk anak yang kurang suka bersosialisasi. Namun mendengar pertanyaannya pada lelaki itu membuat Siti sedikit penasaran.
"Oh, ini buku tentang kesehatan. Ada gambarnya juga, Adek mau lihat?" Tanya lelaki itu yang membuat Yasna beringsut mendekatinya. Lelaki itu memperlihatkan bukunya. Tetapi begitu dirasa posisinya kurang nyaman, ia menarik Yasna agar duduk di pangkuannya.
"Maaf anak perempuan saya jadi merepotkan," ucap Siti. "Adek duduk aja, gak boleh ganggu Om lagi baca buku."
"Nggak apa-apa, saya jadi ada teman," ucapnya sambil tersenyum. "Adek suka baca buku?"
Yasna mengangguk, "Om ini gambal apa?"
"Ini gambar jantung, letaknya ada di dalam rongga dada kita," jelasnya.
"Om, Adek punya jantung gak?" Tanya Yasna.
"Punya, dong. Setiap manusia punya jantung."
"Tapi Adek belum pelnah lihat jantung yang asli selain jantung pisang," sanggah Yasna. Lelaki itu tertawa pelan.
"Meski tidak bisa dilihat karena letaknya di dalam tubuh, tapi bukan berarti kita gak bisa merasakan keberadaan jantung. Coba Om pinjam tangan Adek," ucapnya sembari membawa jemari mungil itu ke dada kirinya sendiri. "Yang berbunyi deg-deg-deg itu jantung."
"Oh. Belalti jantung di dada Om bunyi juga?" Tanyanya tanpa nada penasaran. Lelaki itu mengangguk. "Om doktel jantung ya?"
"Bukan, Om Irvan cuma dokter umum."
Yasna hanya mengangguk, kemudian kembali larut ke dalam bacaan di buku tebal milik dokter itu. Irvan hanya menatap anak perempuan di pangkuannya. Tetapi perlahan senyumnya terbit, senyum yang ia sunggingkan itu ternyata tertangkap oleh pandangan anak lelaki di hadapannya.
Senyumnya perlahan memudar ketika anak lelaki itu hanya menatapnya lama. Namun ketika anak lelaki itu tersenyum ke arahnya, menampilkan lesung pipinya yang samar sambil berujar, "Adek berat. Biar dia tidur di pangkuan Bunda saja, Om Irvan."
Lelaki itu mengernyit ketika namanya disebut dan baru menyadari jika anak perempuan berusia sekitar enam tahun itu tertidur di pangkuannya. Ketika kedua tangan Siti terulur untuk mengambil alih anaknya, senyum Irvan kembali terbit, "Sudah, biar saja. Saya tidak merasa keberatan."
"Maaf," ucap Siti sungkan. "Dan juga... terima kasih, dokter."
Irvan mengangguk sembari membetulkan posisi anak perempuan itu agar bersandar di dadanya. Untuk pertama kalinya, Irvan mendapati ada perempuan asing tertidur di pelukannya. Fakta itu membuatnya kembali mengulas senyum dalam sehari ini.
***
"Kenapa tidak meminta Mas yang menjemput?"
Siti berjengit ketika suara yang paling ingin ia hindari ternyata adalah suara pertama yang menyambut kepulangannya. Awalnya, Siti memilih taksi pun menolak tawaran Irvan, agar Siti sedikit terbiasa tanpa fasilitas mobil dan sopir pribadi. Alasan lainnya, ia pun tak pernah tahu jika lelaki itu sudah kembali kemari, ke rumah besar mereka.
"Aku tidak ingin merepotkan dan aku kira Mas masih di sana," jawabnya pelan.
"Mas tidak pernah tenang dan memutuskan untuk membawa Ayu kemari sambil menunggu kamu," jawabnya ringan. "Kita perlu membicarakan masalah ini."
"Biarkan kami beristirahat... Ayah," pinta Akbar dengan penekanan di ujung kalimatnya. Akbar mengajak Siti yang tengah menggendong adiknya menuju ruangan di sebelah kamarnya, kamar adiknya.
Usai membaringkan Yasna di tempat tidur, Siti menatap Akbar yang menatap dinding kamar adiknya dengan pandangan menerawang. Ada banyak gambar buatan Yasna tentang keluarganya di sana, seketika ia merasa tercubit. Adiknya sudah sangat lama mengharapkan perlakuan lelaki itu selayaknya seorang ayah pada anak perempuannya.
"Sayang," panggil Siti lembut.
"Iya, Bunda."
"Abang memikirkan apa?" Anak lelakinya menggeleng pelan. "Bunda minta maaf udah bikin Abang ikut kepikiran sama masalah Bunda dan Ayah."
"Semua ini bukan salah Bunda," jawab Akbar. "Bunda, boleh Abang meminta sesuatu?"
"Abang mau apa? Bunda akan berusaha mengabulkannya."
"Abang tahu Bunda sama Ayah akan berpisah, tetapi Abang ingin hal itu terjadi dalam waktu dekat. Abang mau kita jauh dari rumah ini, dari Ayah... demi Adek, untuk kebaikan Bunda juga." Gumamnya di akhir kalimat.
Siti tertegun. Ia mengerti kemana arah pembicaraan anak sulungnya. Perpisahan bukan hal menyakitkan bagi kedua anaknya, justru pernikahan orang tua mereka—yang dipaksakan agar tetap terasa hidup, yang membuat keduanya terluka dan tidak benar-benar merasa bahagia.
Setelah menatap Akbar cukup lama, Siti mengangguk. Ia memilih keputusan yang benar. Perpisahan memang pilihan terbaik untuk kebahagiaannya dan anak-anak.
***
Eid Adha Mubarak! *telat🙏
Jangan lupa vomment, Readers!Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...