Part 50: Tentang Malam

4.3K 397 36
                                    

Nyanyian serangga malam menambah kesan mencekam di sekitar perempuan itu. Namun ia tak terganggu. Bertahan hidup di mana saja selama beberapa waktu ini membuatnya terbiasa dengan bising kendaraan, dengan desing serangga malam, atau dengan gerung gemuruh air. Ia sudah terbiasa tidur tanpa alas, di atas kursi papan, atau pada tumpukan semak belukar. Kebiasaan membuatnya terpaksa merasa biasa. Hanya saja, ia masih peka terhadap rangsang. Pada jemari yang perlahan meraba tubuhnya. Dapat diciumnya aroma kretek murahan dari desis bibir seseorang di samping telinganya.

Dalam remang, ia berusaha mengenali siapa yang mengganggu tidurnya. Lalu tersentak saat menyadari di hadapannya terdapat seorang lelaki—bukan Irvan dan lelaki yang bersamanya tadi. Mustahil mereka masih mengejarnya sebab malam telah terlalu berjelaga. Kedua lelaki itu jelas sudah pulang, namun lelaki di hadapannya adalah lelaki beraroma agak busuk, campuran antara keringat dan lumpur—atau bahkan dengan kotoran. Ayu menatapnya ngeri, ada lelaki asing dan tak lulus kualifikasi mendekatinya malam-malam seperti ini. Belum sempat ia meneliti lebih jauh, lelaki itu tertawa aneh sembari mengelus betisnya.

"Haa...haa. Haha."

Ayu menepis jemari kurus lelaki itu ketika ia tersadar bahwa yang di hadapannya ialah orang gila di pengkolan depan. Ia pernah dikejar lelaki tersebut tanpa sebab yang jelas. Lalu semesta seakan memainkannya sekarang. Cepat-cepat ia bangkit dan berlari menyusuri jalan yang tadi dilaluinya.

"Mau kemana cantik?! Haha, kukejar kau."

Ayu dapat mendengar langkah lebar di belakangnya. Dalam iringan langkahnya, sesekali Ayu melirik ke belakang, ke arah lelaki gila itu. Tetapi lagi-lagi ia merasa semesta tak berpihak pada keberuntungannya, begitu berbalik—sesuai menengok ke arah belakang, kepalanya membentur tiang listrik yang posisinya tepat berada di bibir gang. Tubuhnya terjengkang, kini giliran bagian belakang kepalanya yang terbentur cukup keras.

Ia dapat mendengar suara tawa menjijikan mendekat ke arahnya. Kali ini ia tak dapat berlari, kepalanya jelas berputar, dan sebelum seluruh duanianya menggelap, Ayu merasa runtuh. Aroma kretek murahan menjejali mulutnya, menari-nari di atas ketidakberdayaannya. Terhenyak. Terkoyak.

***

Terbangun dalam keadaan tak semestinya dan dikerumuni banyak orang membuatnya merasa hina. Ayu membenahi pakaiannya yang kumal sebelum memutuskan untuk bangkit. Beberapa kali berkelana membuatnya tahu, orang-orang di depannya ialah pedagang kaki lima yang berjualan di dekat sekolah SMA favorit. Mereka menatapnya iba, lalu yang bertopi hijau lumut mengangsurkan segelas air putih. Ia menandaskannya dalam sekali tegukan.

"Mbak bisa lapor polisi."

Saran dari si gendut membuatnya tertawa sumbang. Ia menertawakan kesedihannya, menertawakan nasib hidupnya yang sial. Lalu detik berikutnya air mata meleleh di sudut matanya yang mungil. Ia menangis sesengukan, terisak pilu. Ia tak pernah dihina dan terhinakan seperti ini. Tatapannya jatuh pada ujung baju terusannya yang kotor. Jejak semalam tersisa di sana, ia merasa ingin membersihkan diri atau menceburkan diri di sungai yang jernih, lalu tenggelam di dasarnya.

Sekelebat bayangan wajah si orang gila tergambar di pikirannya, tentang giginya yang kuning ke-orange-an dan ompong di bagian samping, lalu aroma kreteknya yang menyengat, matanya yang cekung. Wajahnya mengingatkan ia pada tokoh hantu di film Mama. Lalu ia terbahak lagi, menertawakan suara tawa si orang gila semalam. Betapa lucu dunia ini dengan adanya makhluk sepertinya. Namun pemikiran bahwa lelaki itu—yang gila, yang tak tampan dan tak beruang—yang menyentuhnya semalam, membuatnya kembali tercabik-cabik. Ia kembali menangis, meraung-raung seperti seorang anak kecil yang merengek meminta permen.

"Wong edan ternyata!" yang bertopi membuka topinya, memukul udara dengannya sambil bangkit. Kepala plontosnya berkilau diterpa mentari pagi. "Asu tenan! Gelasku dipakai pula. Apes-apes!"

"Kukira korban perkosaan." timpal si gendut. Satu per satu mereka membubarkan diri, kembali ke gerobaknya masing-masing.

"Wleh. Tapi gimana kalo si Mbaknya memang diperkosa? Wes kudu lapor ke aparat dan musti jadi saksi."

"Oalah, Pur," ucap si tukang usus crispy. "Palingan juga sama sesama orang gila lain. Hal kayak gitu udah biasa terjadi, udah gak aneh. Wes tho ikhlasin aja gelasnya."

"Wleh, mana bisa aku ikhlas, itu kado dari mantanku. Dia bawa langsung dari Singapura."

"Oalah, Pur, Pur."

Kesadaran bahwa dirinya memang hina dan pantas untuk dihina membuat Ayu berdiri, berlari meninggalkan area tersebut sambil membayangkan kejadian-kejadian dulu. Ia merasa bahwa kejadian semalam tidak terlalu melukai hatinya, melainkan mencoreng harga dirinya. Jika dulu hal tersebut dilakukannya atas dasar keperluan, namun semalam ia merasa murah sebagai perempuan... Atau... sudah sejak dulu kenyataannya memang begitu(?)

Ia kembali menangis, dan begitu melihat beberapa anak sekolah berlari-lari menuju gerbang, memohon kepada satpam untuk mengizinkannya masuk, Ayu tertawa bahagia. Anaknya juga sudah sebesar itu—eh?, atau lebih kecil dari itu. Ia tak tahu, seingatnya Abby masih bayi dan Naufal sudah memasuki taman kanak-kanak. Ah, mungkin keduanya sudah besar. Tiba-tiba ia disergap rindu, tanpa sadar ia menyeberang, mendekati anak SMA yang masih memohon agar diizinkan masuk ke dalam sekolah. Wajahnya mirip sekali dengan Abby.

"Anak Ibu. Ibu kangen banget."

Namun anak itu menjadi panik dan menggebrak-gebrak gerbang sekolah, mungkin karena kasihan, satpam itu mempersilakannya masuk ke dalam. Ayu kembali merasa sedih. Namun ia kembali tertawa. Anaknya sudah lama mati.

***



Sebenarnya udah cepat-cepat pingin merevisi lapak ini. Tapi belum tamat dan adaaaa aja alasan atau kendala buat nulis cerita ini😂

Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang