Kini, Siti tersenyum melihat kedua buah hatinya bersama Addar—pemuda pilihan orang tuanya, yang sedang berinteraksi di ruang keluarga. Di ruangan yang sama dengan anak-anaknya, ia duduk dengan nyaman di atas sofa berwarna biru langit. Rumah yang dibangun Addar dua bulan lalu itu berdiri di atas tanah yang sama, menggantikan rumah panggung milik mendiang Abah dan Ibunya. Rumah hadiah pernikahan mereka yang ke-7 itu begitu sesuai dengan apa yang diharapkan Siti; bercat putih apel dengan kusen-kusen yang disirlak berwarna alami, beranda yang berhiaskan kursi Jawa, kokoh, berisi furnitur bagus, dan didekorasi seapik mungkin. Wisma impiannya telah terwujud, meski ada sesuatu yang kurang: diary-nya bersama sekotak surat dari Yuda yang turut hilang serta Addar-nya berubah. Selain kesibukannya yang membuat lelaki itu jarang menunaikan shalat di mesjid, Siti tak tahu apalagi yang terdefinisi hilang dari suaminya itu.
Siti tak menampik jika kesibukan Addar enam tahun terakhir ini—sering bolak-balik ke luar kota, adalah bentuk tanggungjawab lelaki itu pada keluarga kecil mereka. Addar hanya mengandalkan ijazah SMA karena ia memutuskan untuk berhenti kuliah di tengah semester lima, padahal tinggal beberapa langkah lagi lelaki itu akan menyandang gelar di belakang namanya. Beruntung sang kakak adalah lulusan fakultas peternakan yang mengajarinya salah satu usaha di sektor itu; ternak ayam petelur. Bermodalkan beberapa ayam peninggalan Ibu dan tabungan yang masih tersisa, Addar membuka usahanya dengan membangun satu kandang yang lokasinya jauh dari pemukiman. Lalu beberapa tahun kemudian, lelaki itu berhasil melebarkan sayapnya dengan membuka beberapa kandang ayam di daerah-daerah kecil di penjuru kota—bahkan ia sudah membangun kandang baru di tanah kelahirannya; Yogyakarta, serta mewujudkan wisma impiannya walau harus mengorbankan sebagian dari dirinya itu.
Siti kembali tersenyum saat fokusnya jatuh pada Akbar—anak pertamanya, yang sedang serius membaca buku di atas karpet. Si sulung itu baru memasuki bangku sekolah dasar kelas dua dan sedang semangat-semangatnya membaca dan menulis. Seharusnya memang ia masih duduk di kelas satu, namun gurunya mempersilakan Akbar naik kelas lebih dulu. Sementara si bungsu, Yasna Malaika Yumnaa, baru menginjak usia lima tahun.
Dua-duanya duplikat Addar sekali, sementara ia hanya mewariskan bentuk bibir saja pada keduanya.
"Abang, baca buku apa sih?" Tanya perempuan itu yang membuat Siti mengalihkan pandang kepadanya. Didapatinya Yasna mendekati Akbar dan mengabaikan boneka kelinci yang sedang dimainkannya tadi.
"Abang lagi baca buku cerita," jawabnya tanpa menoleh.
"Celita apa?" Tanyanya lagi. Anak perempuannya memang sedang semangat berbicara, walau belum mampu melafalkan huruf R dengan benar.
"Cerita si Kancil dan Buaya," jawab lelaki itu sekenanya.
"Emangnya si Kancil sama Buaya kenapa, Bang?"
"Si kancil mau menyeberang sungai, lalu minta tolong sama buaya."
"Kenapa si kancil mau menyeberang sungai dan meminta tolong pada buaya?" Tanya perempuan itu seraya memiringkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...