Part 41: Pillow Talk

4.7K 596 54
                                    

"Wow!" gumam Akbar ketika membuka pintu jati di rumah Papanya. Baik Akbar maupun Yasna tak dapat berhenti berdecak menyaksikan interior kamar mereka.

Tempat tidur tingkat mereka didesain unik dengan dekor bak kastil kerajaan. Warnanya tidak terlalu girly tapi justru terkesan kelelakian. Tapi yang membuat berbeda adalah terdapat beberapa boneka ikan paus, ikan hiu, teddy bear, dan beberapa ikon lain di dekat bantal duduk yang bertumpuk di atas karpet. Kesemua itu pastilah untuk Yasna.

Namun setidaknya, Irvan selalu mempertimbangkan keduanya. Terbukti dari adanya bantal Captain America dan beberapa miniatur hero di atas meja. Hal tersebut kembali membuat Akbar berdecak kagum.

"Terima kasih, Pa,"

Keduanya memeluk tubuh Irvan yang tengah berjongkok. Irvan tersenyum melihat keduanya begitu berbahagia hanya dengan mendapatkan kamar dengan desain unik.

"Sama-sama, Sayangnya Papa."

Irvan tak ingin melepas pelukan keduanya. Hatinya selalu menghangat. Ah, seperti ini rasanya menikah dan memiliki anak. Ketika dirinya masih asyik menikmati kehangatan itu, jemari lain ikut memeluknya dari arah samping. Membuat pelukan itu terasa kian hangat dan dalam maknanya bagi Irvan.

"Pelukan Bunda bikin sesak," protes Akbar sambil menggerakkan kepalanya. Siti tak menggubris dan semakin mendesakkan tubuh ya ke arah mereka bertiga.

"Biarin," jawab Siti dengan nada jenaka. "Habis setelah ada Papa, Bunda jarang dipeluk lagi."

"Bunda gak boleh syirik! Papa kan bagian dari kita juga sekarang," timpal Yasna.

"Kayaknya Bunda akan kalah kalau debat sama Papa, pendukungnya banyak."

Mereka tergelak.

"Papa, Adek ngantuk. Udahan pelukannya," pinta Yasna, dan tidak ada yang ingin berlama-lama lagi melanjutkan sesi berpelukan tersebut mengingat tubuh mereka memang memerlukan istirahat yang cukup. "Selamat malam, Bunda dan Papa. Malam ini Adek tidur di kamar, ya. Mau nyobain kamar baru dulu. Besok-besok Adek ikut tidur sama Papa."

Akbar ikut mengangguk setuju, "Abang juga besok mau ikut tidur sama Papa dan Bunda. Boleh ya?"

"Boleh dong, Jagoan." jawab Irvan.

"Kalian udah ucapin selamat malam aja, cuci kaki sama gosok giginya nggak mau Bunda temani?"

Kedua anaknya kompak menggeleng dan berdalih jika Irvan dan Siti sama-sama membutuhkan istirahat setelah menghabiskan sepanjang hari untuk berdiri dan bersalaman.

"Pintar," puji Irvan setengah gemas, lalu mencium puncak kepala anak-anaknya satu per satu. "Selamat tidur Jagoan dan Princess, Papa. Jangan lupa berdo'a sebelum tidur."

"Love you, Papa."

***

Siti beringsut merapat pada tubuh kekar Irvan di balik selimut. Dengan semena-mena perempuan itu tidur di dada sebelah kanan sang suami. Sementara suaminya rela memberikan lengan kanan sebagai bantal perempuan itu.

Irvan baru saja memejamkan mata dan mungkin akan segera terlelap ke alam mimpi jika jemari lentik Siti tidak menelusuri dada telanjangnya. Menghadirkan perasaan geli dan ingin segera ditepis oleh Irvan kalau ia tak memikirkan perasaan perempuan itu. Sejujurnya Siti sendiri tak tahu, mengapa ia jadi seberani itu terhadap Irvan. Karena Irvan sudah resmi menjadi suaminya? Atau karena Irvan lebih banyak menggunakan otak disbanding otot-ototnya yang kekar?

"Harus banget ya nggak pakai baju?"

"Udah kebiasaan, Sayang," balas lelaki itu sambil menangkup jemari nakal Siti yang terus menggelitiknya. Ia memang aneh, titik pusat gelinya justru tak terletak di pinggang, melainkan pada dada. "Mas paling nggak tahan sama gerah. Makanya semasa kuliah di Jakarta sering koloran doang waktu tidur. Jadinya keterusan sampai sekarang. Kamu keberatan soal kebiasaan Mas ini?"

"Bukan keberatan, cuma takut khilaf."

Tawa Irvan mengalun, nyaring sekali di tengah sepinya suasana malam. Seketika Siti merasa sangat malu karena terlalu jujur pada suaminya.

"Mas ih!"

"Habisnya kamu lucu. Tangan kamu dari tadi udah khilaf, jalan-jalan kemana-mana sampai harus Mas pegang begini," balas Irvan sengit meski masih setengah tertawa. "Khilafnya kamu bisa bikin Mas pingsan kegelian."

"Kalau gitu Mas jangan tidur sembarangan," pinta Siti. "Apalagi di rumah sakit. Nanti dokter Gina makin kepincut sama Mas."

"Nggak akan, Sayang. Sekarang guling Mas kan kamu, nggak bisa dibawa ke sana," jawab Irvan asal. "Jadi nyambung ke Gina. Dia sama Mas kan beda tempat kerja."

Siti mencebikkan bibir, "Tapi dia suka sama Mas."

"Memang. Mas tahu, kok. Tapi sejak dulu Mas juga udah meminta Gina untuk tidak berharap lebih."

"Mas nggak berniat selingkuh sama dokter cantik itu, kan?" tanya Siti.

"Nggak. Sama sekali nggak kepikiran buat selingkuh sama siapapun," jawab Irvan tegas. "Mas udah punya kamu, punya anak-anak juga. Apalagi yang mau Mas cari dari perempuan lain? Hidup Mas udah lengkap.

"Lagipula Mas punya Yasna, punya anak perempuan. Sebagai Papa, Mas tentu nggak mau kalau dia berjodoh sama laki-laki tukang selingkuh karena karma perbuatan Papanya. Almarhum Ayah selalu bilang, karma nggak akan menimpa si pelaku saja, tetapi juga orang-orang terdekatnya."

Siti mendadak jadi bungkam. Dan Irvan yang menyadari itu buru-buru berkata, "Time flies, Sayang. Mas juga nggak bermaksud menyindir Mas Addar."

"Aku bahkan nggak mikir ke sana, Mas. Aku cuma berpikir, apa yang sudah kuperbuat di masa lalu sehingga bisa beruntung dinikahi kamu."

"Seharusnya Mas yang bilang seperti itu," jawab Irvan. "Mas sangat-sangat beruntung menikah kamu dan memiliki anak-anak. Tapi Mas juga harus minta maaf, pernikahan kita—ke depannya, mungkin nggak akan selalu mulus dan tanpa rintangan. Tetapi satu hal yang harus kamu percaya, Mas nggak akan mengkhianati pernikahan kita, Mas nggak akan mengecewakan anak-anak. Apa yang Mas lakukan atau putuskan—dengan atau tanpa persetujuan kamu, Mas akan selalu memprioritaskan kebahagiaan kamu dan anak-anak."

Siti mengecup sudut bibir Irvan pelan, "Ayo, tidur. Aku nggak akan kuat ngobrol lama-lama sama bibir gula Mas itu."

"Gak akan ganti baju dulu?" tanya Irvan ketika Siti semakin memeluknya. Perempuan itu menggeleng pelan, dan Irvan harus segera memejamkan mata daripada berlama-lama menyaksikan daster kuning terang perempuan itu yang tampak menyala dalam gelap. "Tidur yang nyenyak, Sayang."

***

Sisi lain Siti😅✌️

10k vote. Yeay!! 🎊🎊🎊🎊

Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang