Double Update!!
__Irvan hanya melirik Siti yang baru saja memasuki mobil. Ada yang salah dengan perempuan di sebelahnya. Bahkan sepanjang perjalanan menjemput anak-anak dari tempat les hingga mengantarkan mereka ke kafe, Siti menghindari interaksi dengannya.
"Mas ada salah sama kamu, Ti?" Tanya Irvan tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. Saat ini mereka berencana mengunjungi WO dan butik tempat ia memesan gaun pengantin, sesuai rencana mereka kemarin. Lebih tepatnya, rencananya sendiri.
Siti menghembuskan napas lelah, "Mas, aku memang setuju menikah sama kamu. Aku juga setuju pernikahan kita diadakan bulan depan. Aku juga terpaksa setuju menikah dengan pesta mewah. Tapi aku sama sekali nggak setuju kalau Mas mengambil keputusan secara sepihak. Mas yang bilang kalau pernikahan ini dilakukan oleh dua orang, atas keinginan dua orang, dan Mas akan memprioritaskan keinginan aku juga. Pada kenyataannya justru Mas yang melanggar ucapan Mas sendiri."
Siti benar-benar menumpahkan seluruh kekesalannya semalaman kepada lelaki itu siang ini. Hatinya sedikit terluka ketika menyadari bahwa Irvan memiliki tabiat mirip seperti mantan suaminya; seenaknya dalam segala hal. Tapi ia juga mempertimbangkan jika Irvan lebih enak diajak bicara, jadi tidak akan terjadi percekcokan jika ia menumpahkan seluruh pemikirannya di depan lelaki itu.
"Iya, Mas minta maaf ya, Ti," jawab Irvan. "Mas nggak mau kamu kepikiran ini-itu, turun tangan buat urus beberapa hal untuk pernikahan kita. Mas juga salah karena melanggar ucapan sendiri. Mas nggak akan ulangi.
"Sebentar lagi sampai. Kita diskusi di sana soal tema dan hal-hal lainnya. Please, jangan marah lagi."
"Aku nggak marah, Mas. Tapi kesal aja semalam Mas langsung tutup teleponnya setelah bilang gitu."
Irvan meringis, "Maaf ya. Semalam Mas harus baca jurnal sebelum ngantuk, jadi buru-buru pamit deh."
"Ti, Mas kan baru pertama kali dekat sama perempuan selain yang ada di keluarga Mas. Jadi kalau kamu merasa nggak nyaman sama sikap dan perlakuan Mas, Mas minta kamu bicarakan hal itu langsung sama Mas. Biar ke depannya Mas bisa berubah dan benar-benar membuat kamu bahagia."
Siti hanya berdehem. Ia tidak marah, sungguh. Hanya saja merasa kesal, dan kekesalannya itu sudah berangsur-angsur reda karena sudah ditumpahkan kepada si pembuat kesal. Tapi ia berdehem hanya untuk menyadarkan diri bahwa ia sudah keterlaluan, ia jadi sedikit menuntut agar Irvan mau menuruti kemauannya padahal lelaki itu selalu berbuat sesuatu yang dinilai baik untuk mereka berdua. Tak adil rasanya jika Siti langsung menyemprotnya habis-habisan hanya karena kesalahan sepele.
"Ayo, turun Ti."
Siti manut dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, Amanda Organizer. Bangunan yang tampak seperti rumah biasa itu memiliki kesan apik, ada dua undakan untuk menuju teras depan. Beberapa daun jendela yang lebar sedikit memamerkan ruangan dalam yang penuh dengan foto-foto pernikahan.
"Ayo. Amanda sudah menunggu di dalam," ucap Addar sembari melangkah mendekati undakan. Siti hanya mengikuti dari belakang.
Siti dapat melihat seseorang menyambut kedatangan mereka dengan ramah, lalu mengantar mereka menuju ruang kerja si empunya perusahaan.
"Hai," sapa perempuan dengan gaya rambut bob tersebut. Siti mengernyit ketika melihat keduanya tampak lebih dari sekedar akrab.
"Maaf kami sedikit telat," ucap Irvan. Siti melirik lelaki itu sebentar, lalu beralih pada Amanda ketika perempuan itu juga menyapanya dengan hangat.
"Silakan duduk, Mas, Mbak," ucap Amanda. Sementara perempuan itu malah berbalik menuju rak di belakangnya, mengambil beberapa portofolio lalu disodorkannya kepada Irvan dan Siti. "Dilihat aja dulu, Mbak..."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...