Yasna berkacak pinggang dan menatap barang-barang yang sudah tak muat dalam ruang kamarnya yang dilengkapi wardrobe. Sesungguhnya meski ia telah beranjak dewasa, ia enggan memiliki barang-barang branded yang bejibun. Menurutnya, ia hanya memerlukan barang yang fungsional—tanpa melirik harganya. Namun sejak lelaki itu bertambah usia, dia menjadi pelaku utama kamarnya penuh oleh barang. Yasna menghitung ada sekitar lima puluh barang branded yang belum dimasukkan ke dalam lemari penimpanannya. Barang itu berupa sepatu, tas, jam tangan, hingga lotion. Ia merasa tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu di hidupnya. Maka ketika lelaki itu masuk setelah mengetuk pintu dan dipersilakannya, Yasna menatapnya nanar, bersiap menyemburkan kekesalannya.
"Ini semua gara-gara Kakak!"
"Kenapa, Dek?" Naufal pura-pura tak mengerti, bahkan senyum di wajahnya tak luntur sama sekali. Dengan tampang tak berdosa ia mengangsurkan kotak kecil dari dalam saku celana, "Kemarin Kakak jalan-jalan ke Sumba sama temen. Nih, dia beliin kamu kalung."
Yasna mengerang. Lelaki itu dengan santai menyimpan kotak bermotif kain tenun di atas meja rias, lalu merebahkan diri di ranjang adiknya. Sementara Yasna tak lagi dapat menolerir seluruh sikap Naufal yang tidak sopan itu. Ia mendekati ranjang, berniat menumpahkan seluruh amarah yang dipendamnya. Kali ini ia ingin meledak agar lelaki itu mengerti dan tidak merecoki hidupnya lagi.
"Stop—"
"Sampai kapan kamu akan benci sama Kakak, Dek?"
Ucapan lirih Naufal membuat seluruh kata-kata yang hendak dikeluarkannya menguap di udara. Matanya meneliti raut kelelahan lelaki itu, pandangannya kosong ketika menatap langit-langit kamar. Pikiran lelaki itu seakan tak berada di tempat. Barangkali ia masih jetlag. Kebiasaan lelaki itu tak pernah berubah sejak remaja. Begitu selesai bepergian, Naufal selalu pulang ke rumah ini dan memberikan sesuatu untuknya. Selepas itu ia baru benar-benar pulang ke rumah Ayah di Yogya. Mereka memang pindah ketika Nenek Vania meninggal dan mengamanatkan rumah itu kepada Ayah. Serupa dengan mereka, Papanya pindah ke rumah ini; rumah keluarga besarnya di Solo. Jarak Solo dan Yogya yang tak sedekat di peta sudah biasa Naufal tempuh demi dirinya. Lelaki itu selalu menjadikan seluruh penghuni rumah ini sebagai yang utama.
"Aku..." Aku tak pernah membenci siapapun.
"Sampai kapan Adek akan menghindari Ayah?"
Seperti pertanyaan yang pertama, lelaki itu tak lagi menatapnya. Ia hanya melemparkan pertanyaan dengan pikiran yang melayang-layang. Lalu lengannya disilangkan menutupi mata sehingga Yasna tak lagi dapat melihat mata itu; mata yang baru ia sadari selalu menyimpan luka.
"Aku tak pernah membenci Kakak," jawab Yasna akhirnya. Ia memutuskan duduk di ujung tempat tidur. Lama-lama kakinya bisa kebas jika berdiri.
"I know." gumamnya. "Kamu hanya belum bisa menerima kehadiran Kakak dihidupmu. Atau kamu memang tidak pernah berusaha."
Yasna tak dapat mengelak. Kata-kata yang diucapkan secara pelan dan putus asa itu menampar hatinya yang keras.
"Kakak sering membelikan kamu barang setiap Kakak pergi ke penjuru dunia bukan berarti Kakak meremehkan kamu. Kakak jelas tahu, kamu bisa membeli barang-barang yang kamu perlukan dan inginkan, Dek. Tapi satu hal yang membuat Kakak selalu melakukannya, Kakak ingin kamu mengerti bahwa bagi Kakak, kamu sangat berarti. Sekalipun kamu belum bisa menerima Kakak, tak akan mengubah perasaan Kakak terhadapmu, Dek."
Naufal mengubah posisinya menjadi duduk, menyunggingkan seulas senyum tipis ke arah Yasna, tapi matanya berkata lain. Perempuan itu dapat menyaksikan kesedihan yang terlampau kental di netranya yang pekat. "Dek, jika Kakak yang bukan siapa-siapa ini menyayangimu sedemikian rupa, apa mungkin bagi Abah—yang jelas-jelas mengalirkan gen di tubuhmu, tidak merasakan hal yang sama?"
Yasna bergeming, lalu setelah menemukan kembali suaranya, ia bertanya, "Apa maksudnya dengan bukan siapa-siapa?"
"Kakak bukan kakak tiri kamu, Kakak sempat melakukan tes DNA. Tidak ada setetespun darah Abah di tubuh Kakak," Naufal menghela napas. "Abah menikahi Ibu karena sedang mengandung Kakak. Lalu setelah Kakak hadir di rumah kalian, semuanya menjadi kacau hingga kalian memilih pergi. Jadi jika direka ulang, pada posisi ini Kakak-lah yang salah. Kakak yang sudah membuat Ibu Siti menderita, Kakak yang sudah menyita perhatian Abah hingga kamu tak lagi diprioritaskannya.
"Abah memang salah karena mengkhianati Bu Siti, tapi Kakak tahu, ia selalu mencintai kalian. Kakak harap kamu memikirkan hal itu dan berusaha menerima Abah," pungkas Naufal. Ia bangkit lalu mendekati Yasna, mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, "Nanti Kakak ke IKEA dan beli lemari penyimpanan baru, ya. Selamat beristirahat."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...