Part 22: Rumit

4.7K 459 36
                                    

Menjadi yang paling akhir, Siti cepat-cepat beranjak dari ruang tunggu begitu gilirannya dipanggil. Lalu ketika ia memasuki ruangan bernuansa putih itu, Siti terkejut. Orang yang duduk di meja kerjanya itu bukan seorang perempuan seperti yang ia kira sebelumnya.

Lelaki itu tersenyum ramah seperti saat pertama mereka bersua, "Silakan duduk, Mbak Siti."

Siti mengangguk dan duduk di hadapannya dengan kurang nyaman. Bagaimana bisa dia bersikap nyaman jika dokternya seorang laki-laki.

"Dokter Sinta pindah ke luar kota, jadi saya yang menggantikannya di sini," ucap lelaki dengan name tag Irvan Ali di baju dinasnya itu. Lalu lagi-lagi ia tersenyum ramah sebelum mengalihkan fokus ke berkas pasien di hadapannya, "Ada keluhan lain selain mual dan demam yang sesekali datang?"

Siti menggeleng, "Tidak, Dok. Hanya saja demamnya terasa seperti gejala flu."

Irvan mengangguk, kemudian mempersilakan Siti untuk berbaring di atas ranjang. Sebelum menyentuhkan stetoskop di perut perempuan itu, ia berkata dengan santun, "Maaf ya, Mbak."

Irvan meletakkan alat periksanya di perut Siti bagian atas, "Maaf kalau saya lancang menanyakan beberapa hal. Apa Mbak masih memiliki suami?"

Pertanyaan Irvan membuat Siti takut, "Apa saya hamil Dok?"

"Mual yang Mbak rasakan dikarenakan oleh naiknya asam lambung. Bisa jadi karena akhir-akhir ini Mbak tidak menjaga pola makan," jawab Irvan yang membuat Siti menghela napas lega. Tetapi hanya sekejap karena Siti kembali dibuat terkejut oleh pertanyaan Irvan selanjutnya, "Sekali lagi maaf, Mbak. Apa Mbak sering bergonta-ganti pasangan? Dan, apa Mbak mendapati adanya luka di sekitar organ intim?"

Siti membulatkan matanya, bagaimana bisa gejala yang dialaminya menghasilkan pertanyaan seperti itu. Tetapi ketika teringat suatu hal, Siti menggumam, "Tidak, tetapi akhir-akhir ini saya mengalami sedikit tidak nyaman serta kesemutan di bagian itu."

Irvan mengangguk paham, ia mengakhiri pemeriksaan dan kembali ke kursinya.

"Saya menyarankan agar Mbak menjalani pemeriksaan lanjutan," jawab Irvan.

Begitu pantatnya mendarat, Siti yang merasa penasaran langsung mencecar Irvan dengan pertanyaan, "Sebenarnya ada apa dengan saya?"

"Diagnosis awal, Mbak mengalami gejala penyakit herpes simpleks. Tetapi untuk lebih memastikan, besok Mbak perlu melakukan pemeriksaan darah untuk melihat keberadaan antibodi terhadap virus herpes."

Siti tak dapat menahan air matanya. Dadanya terasa sesak dan bergemuruh. Amarahnya terasa menggelegak mendengar penjelasan dokter Irvan, namun yang dapat dilakukannya hanyalah menangis tersedu-sedu. Addar yang menuai, tetapi kenapa ia turut memetik hasilnya? Kenapa keadaan seakan tak pernah memihaknya untuk sejenak berbahagia?

Selama beberapa minggu ia menempati rumah mantan suami Qulsum, selama itu pula ia berhasil menata hidup dan perasaannya yang semrawut. Ia membuka sebuah cafe kecil untuk menyambung hidup, dan berusaha kuat demi anak-anaknya. Tetapi fakta yang dibeberkan Irvan seperti pukulan yang membuatnya kembali lemah.

"Mbak tidak perlu khawatir, meski penyakit ini belum bisa disembuhkan tetapi masih bisa diatasi oleh pengobatan rutin. Sebagai langkah pertama, Mbak sebaiknya memberi tahu suami—"

"Sidang perceraian saya akan berlangsung dua hari lagi."

Mengertilah Irvan kenapa perempuan di hadapannya menangis sepilu itu. Karena itulah ia mengulurkan jemari, menyalurkan kekuatan, "Kamu pasti bisa melewatinya. Kamu punya anak-anak hebat yang pasti kasih support. Sebagai dokter, saya juga akan merujuk kamu agar ditangani spesialis yang terbaik—"

Kali ini kemunculan perempuan di ambang pintu yang menginterupsi ucapannya, "Astaga, Irvan! Kamu kok gak bilang-bilang kalau udah punya pacar?"

Irvan seolah sadar dan cepat-cepat mejauhkan jemarinya, "Ini nggak seperti yang Mbak bayangkan. Dia—Mbak, jangan telepon Mama!"

Irvan menghela napas panjang, ia tak habis pikir kenapa harus kakaknya yang satu itu yang memergokinya tengah berduaan bersama seorang pasien perempuan.

Siti yang masih terisak dan mendengar helaan napas lelaki itu, jadi menggumam, "Maaf. Lagi-lagi saya merepotkan dokter."

"Tidak apa-apa," jawabnya sambil tersenyum pelan. Tetapi ketika ponselnya yang berada di meja bergetar, senyum Irvan luntur seketika. Spam pesan dan panggilan bertubi-tubi mampir di ponselnya. Mulai sekarang ia harus meluangkan waktu hanya untuk meredam kehebohan keluarganya.

***

Addar menatap nanar kartu-kartu ATM yang dikembalikan Siti beberapa waktu lalu, pun bersama sejumlah surat panggilan pengadilan untuk sidang kedua perceraian mereka.

Dipandangnya empat kartu yang semula dipegang Siti, ia sudah mengecek saldo di masing-masing kartu dan tercengang. Nominal tiap kartu terdiri dari sederet angka yang mendekati pendapatan kotor di lima kandang miliknya. Hal itu menandakan bahwa selama ini Siti hanya menggunakan uang pemberiannya hanya untuk kebutuhan rumah tangga mereka. Tak sedikitpun rupiah digunakan perempuan itu untuk membeli barang-barang mewah tanpa sepengetahuan dirinya.

Siti Sabiya. Nama itu masih melekat erat di dalam hati Addar, sama seperti perempuan yang tengah terlelap di sampingnya. Perempuan yang dicintainya tetapi juga menjadi pemutus pernikahannya bersama Siti. Memikirkan perempuan itu yang sulit dihubungi sejak meninggalkan rumah, membuat Addar menyibak selimut dan memasukkan semua barang yang sudah puas dipandanginya ke dalam laci nakas.

Kakinya melangkah menuju walk in closet, beberapa bagian lemari di sana telah diinvasi oleh barang-barang bermerk istri keduanya. Meski masih tetap menyisakan beberapa barang milik Siti yang merupakan pemberiannya. Baju-baju gamis yang masih menyisakan sisa aroma Siti membuat hatinya perlahan disisipi rasa rindu, jemarinya menjelajah di sana sampai menemukan sebuah kotak yang berdampingan dengan kotak perhiasan perempuan itu.

Our. Begitulah tulisan yang tampak di kotak kayu tersebut. Ketika membukanya, Addar merasakan sejumput rasa sesal. Foto-foto USG, foto Yasna yang masih bayi, serta foto Akbar yang menggendong adiknya. Semua kenangan yang dilewatkannya disimpan Siti di dalam kotak itu. Ada pula secarik kertas di sana.

Kami selalu menunggu Ayah pulang. Happy 5th Anniversary.

Tetapi belum sempat Addar mengingat tahun kelima pernikahannya, suara tangis bayi laki-lakinya menginterupsi. Disusul suara Ayu yang setengah berteriak, "Mas, anakmu nangis. Popoknya mungkin udah penuh."

Addar menghela napas panjang. Hari esok akan jauh lebih berat dari malam ini.

***

Aku ndak akan bosen buat bilang; jangan lupa vomment yaa! ;)

Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang