Part 45: [Bukan] Wisma Impian

5.2K 511 89
                                    

Dari balik selimut, Siti menggeliat karena ranjang di sebelahnya terasa dingin. Jemarinya meraba di sana, mencari-cari lengan kokoh yang biasa melingkar di pinggangnya sampai dini hari. Nihil.

Seketika ia bangkit tanpa berusaha mengumpulkan nyawa lebih dulu. Sejenak ia membaca do'a selepas tidur dan mengikat rambutnya sebelum benar-benar beranjak dari ranjang. Namun baru saja ia berdiri, kepalanya mendadak pening sampai ia harus kembali duduk di pinggir ranjang. Bertepatan dengan itu, sesosok yang sedari tadi dicarinya muncul dari pintu masuk.

"Baru mau dibangunin, Sayang," ucap Irvan seraya mendekat ke arahnya.

"Ini juga baru bangun, tapi tiba-tiba pusing, Mas."

Lelaki itu ikut duduk di pinggir ranjang, dan membawa kepala Siti agar bersandar di bahunya. Sambil mengusapnya pelan, Irvan bertanya, "Mual?"

Siti menggeleng.

"Mau diperiksa?"

Perempuan itu kembali menggeleng dan melepaskan diri dari pelukan Irvan.

"Enggak," jawab Siti pelan. "Aku belum shalat Shubuh, Mas. Kalau dipeluk sambil dielus-elus kayak tadi, yang ada malah ngantuk."

Irvan tertawa pelan, "Mas siapin air buat mandi, ya."

Siti hanya mengangguk pelan, dan mengikuti jejak lelaki itu dari belakang. Dengan telaten, Irvan menyiapkan air hangat di dalam bath up. Lelaki itu menoleh pada daun pintu, dimana Siti menunggunya sambil menyandarkan diri pada kusen aluminium.

"Mas keluar, gih. Airnya udah, kan?"

"Siapa tahu mau sekalian dimandiin," celetuknya sambil tersenyum jahil.

"No! Mas udah jadi dalang di balik keterlambatanku bangun pagi," dumelnya. Siti mendorong pelan punggung Irvan agar keluar dari kamar mandi. Sementara pemiliknya malah tertawa lalu kemudian menarik pipi perempuan itu dan membuatnya tersenyum paksa.

"Mas cuma takut kamu pingsan di kamar mandi, Sayang. Tapi kalau bibir ini udah ceriwis, berarti pemiliknya cukup kuat buat mandi sendiri," jawab Irvan sambil mencuri satu ciuman di tempat jemarinya mendarat tadi. Lelaki itu lantas cepat-cepat keluar dan memberi kesempatan bagi istrinya untuk segera memberikan diri.

Usai mandi kilat, Siti menunaikan kewajibannya; shalat, lalu menyiapkan pakaian suaminya. Setelahnya Siti turun ke bawah. Dari pertengahan tangga, Siti kerap di sambut oleh suara Irvan dan anak-anak di ruang makan. Lelaki itu terlalu sabar untuk anak-anaknya yang sering melontarkan pertanyaan.

"Bunda kemana, Pa? Biasanya Bunda yang masak."

Untuk yang satu ini, Siti merasa setengah-setengah. Setengah bersyukur dan sisanya adalah sesal. Bersyukur karena Irvan jauh lebih pengertian daripada mantan suaminya. Irvan tak perlu dimintai bantuan untuk mengerjakan sesuatu, lelaki itu bahkan melakukannya meski Siti mampu—tidak terinterupsi oleh sakit atau sibuk. Seperti memasak, misalnya.

Irvan akan langsung turun ke dapur setelah shalat dan mengaji, menyiapkan sarapan mereka sekaligus bekal anak-anak. Tanpa mengeluh atau mempertanyakan kenapa dia lalai sebagai istri.

Namun di samping semua itu, ia merasa menyesal karena tidak sepenuhnya melakukan kewajiban. Apakah tindakannya tersebut akan menyulut ketidaksetiaan lelaki itu?

"Bunda masih shalat, mungkin. Akhir-akhir ini Bunda kayaknya kecapekan, Bang. Salah Papa juga, seharusnya nambah asisten rumah tanggal baru di rumah jadi Bunda nggak ngurus semua keperluan rumah sendirian."

Siti yang tengah menyusuri lorong mampu mendengar jawaban pria itu. Lalu setelah hanya terdengar denting alat masak, Siti kembali mendengar suara lelaki itu.

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang