Kesedihan rupanya turut dibawa serta ke rumah besar mereka. Bendera kuning di bibir gerbang terus-menerus dipandangi Addar. Sampai-sampai ia mengabaikan dua orang yang sudah lama hendak berkunjung ke rumah mereka. Patricia dan Edrian.
"Setiap orang pasti akan mengalami kematian, Nduk. Bersedih karena ditinggalkan memang boleh, tetapi jangan berlarut-larut sampai mengabaikan sekitar. Kamu masih punya tanggungan," ucap Mamah Vania sembari menepuk bahu anak tirinya. Addar mengangguk pelan lalu mengernyit ketika melihat ibu tiri yang sejak dahulu dijauhinya kini sudah berpakaian rapi. "Mamah nggak bisa menginap. Biar Shubuh nanti Mas Abrar yang jemput di stasiun."
Ucapan Mamah Vania menyadarkannya akan sesuatu; kakak lelakinya tidak turut hadir atau sekadar mengucapkan belasungkawa. Orang yang begitu dekat dengannya kini benar-benar tidak berada di jangkauannya, sementara Mamah Vania yang sejak dibawa Abi ke rumah sampai detik ini masih kurang disukainya malah hadir dan selalu ada untuknya. Bahkan ia menemani sidang pertama perceraiannya dengan Siti. Karena itulah Addar menggumamkan ucapan terima kasih. Kalimat pertama yang muncul darinya tanpa sedikitpun rasa benci.
"Sama-sama. Jaga keluargamu baik-baik," pesannya sebelum berlalu.
"Biar Edrian antar, Tante," tawar lelaki Jawa itu seraya bangkit berdiri.
"Tidak perlu, Nak. Tante sudah pesan taksi," jawabnya lembut.
"Tapi ini sudah malam," sanggah Edrian yang kembali dihadiahi gelengan kepala. Sementara Addar menatap keduanya dengan pandangan kosong. Tak sekalipun ia pernah berlaku seperti itu kepada ibu tirinya, orang ketiga di kehidupan Abi dan Uminya. Tetapi ia malah bersikap begitu baik kepada orang ketiga di bahtera rumah tangganya.
"Addar," panggil Patricia setengah kesal. Addar berjengit dan menoleh kepada perempuan di sebelahnya. "Senang kau sudah kembali."
"Cia, Addar masih berduka," timpal Edrian sambil mengelus tangan istrinya.
"Tak apa, Ed. Kalian sudah lama ingin membicarakan tentang bisnis ini," jawab Addar sambil memaksakan seulas senyum. "Saya sudah membaca email yang kalian kirimkan. Prospek restoran di daerah Kuta sepertinya cukup bagus..."
"Addar, kami harus meminta maaf yang sebesar-besarnya. Apa kamu tidak membuka email terbaru yang kami kirimkan?" Tanya Edrian. Addar menggeleng lemah, "Kami membatalkan rencana kerja sama ini setelah menemukan supplier dari peternakan lain. Kamu sendiri tahu, kami melakukan bisnis ini tidak berdua. Ada beberapa orang lain yang ingin agar usaha ini cepat terealisasi. Jadi begitu kamu tidak memberikan konfirmasi lebih lanjut, kami terpaksa mencari supplier lain yang lebih responsif."
Addar menghela napas lelah dan mengusap wajahnya, "Maaf. Jadi, Patricia... kamu hendak membicarakan apa tadi?"
"Sertifikat rumahmu di Jogja. Kami sudah melunasi sisa pembayarannya dua minggu lalu ke rekening yang kamu berikan dulu..."
Addar terkejut memikirkan tentang hal itu dan mencoba mengingat-ingat sesuatu. Nomor rekening yang dikirimkannya adalah rekening pegangan Siti yang sekarang dipercayakan kepada Ayu. Namun tak sedikitpun istrinya itu pernah berbicara soal transferan.
"Cia, jangan terburu-buru. Addar pasti banyak pikiran dan masih berduka, kita bisa membahasnya lain kali," sahut Edrian.
"Tak apa, Ed. Lagipula kalian sudah harus ke Bali besok pagi," jawab Addar sambil bangkit. "Sertifikatnya ada di kamar, saya ambil dulu."
Ketika Addar sudah sedikit menjauh, Edrian menegurnya dengan gemas, "Cia, Sayang..."
"Kamu gak dengar apa yang tetangga bisikkan soal sahabat kamu ini? Dia bisa mengelabui istrinya sendiri, apalagi kita," jawab Patricia cukup jelas. Sampai lelaki yang tengah menaiki seperempat tangga itu sanggup mendengarnya. Dan yang bisa dilakukannya hanya menarik napas panjang. Setelah Siti, kedua anaknya, serta Addy, ia jadi sedikit menyakini bahwa mungkin sebentar lagi ia akan kehilangan sahabat... karena kelakuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...