Siti tidak pernah menyangka jika anak perempuannya akan menangis dan meraung ketika ia menjemputnya tiga puluh menit lalu. Saat ini ketiganya—Siti dan anak-anak, sudah berada di rumah dan mau tidak mau menuruti permintaan lelaki itu untuk tidak pergi kemanapun. Lagipula bagaimana bisa ia pergi keluar—untuk check up dan ke kafe, jika anak bungsunya menangis sedemikian rupa. Meminta Irvan kembali dan mengajaknya kemanapun lelaki itu pergi.
Sejenak Siti bertukar pandang dengan Akbar yang juga menatapnya bingung. Lalu anak lelaki itu mengelus rambut lurus adiknya yang berada di dalam pangkuan Siti, "Adek nggak mau cerita sama Abang dan Bunda? Biasanya juga Om Irvan keluar kota dan Adek nggak pernah nangis seheboh ini."
"Abang nggak ngerti," isak Yasna.
"Sayang, Bunda sama Abang gak akan mengerti kalau Adek nggak bilang apa-apa," timpal Siti. "Adek gak mau pulang dan mau terus-terusan sama Om Irvan, sampai mogok sekolah pula. Adek nggak percaya lagi sama Bunda dan Abang? Om Irvan kan masih orang lain untuk kita, Sayang."
"Adek bisa cerita sama Abang, sama Bunda juga. Abang selalu bilang akan jaga Adek dan juga Bunda."
"Tapi Abang nggak janji akan jaga Papa Irvan juga," sanggah Yasna. Baik Akbar maupun Siti mengernyit mendengar panggilan yang disebutkan anak itu untuk lelaki yang bahkan belum menjadi bagian dari mereka. "Adek kepingin terus sama Papa karena mau jagain Papa. Adek gak mau Papa meninggal dan ninggalin Adek sendirian."
Siti memperdalam kerutan di wajahnya, "Om Irvan pasti baik-baik saja. Adek hanya perlu mendo'akan Om Irvan agar panjang umur dan diberi keselamatan."
"Tapi Papa akan dibunuh, Bunda. Bagaimana bisa Adek nggak khawatir sama Papa? Adek nggak mau kehilangan Papa. Kalau Papa pergi, Adek nggak bisa ngerasain punya ayah yang sayang sama Adek."
"Siapa yang bilang akan membunuh Om Irvan?"
Lalu anak perempuan itu kembali terisak, sementara dua orang lainnya menjadi bungkam di ruangan itu. Akbar yang pertama kali berinisiatif menghubungi Irvan dengan seizin Siti. Begitu tersambung, Akbar langsung mengaktifkan mode loud speaker.
"Om dimana?"
"Ini baru masuk bandara, Bang. Adek... nangis ya?" Tebak lelaki itu ketika mendengar suara isak yang tertahan.
"Iya, Om."
"Om mau bicara sama Adek, Bang."
"Udah Abang louds kok, Om. Di sini ada Bunda juga."
Irvan mengangguk meskipun ketiga orang di seberangnya tidak dapat melihat apa yang dilakukannya, "Om nggak jadi pergi ke Solo, Sayang. Om jemput Ibu dulu, nanti baru bisa ke sana, ya."
"Meetingnya gimana, Mas?" tanya Siti.
"Ibu ngelarang Mas pergi keluar kota sebelum Mas nikah. Jadilah Dimas—sepupu Mas, yang mewakili. Alhamdulillah Allah mengerti kegundahan Mas," jawab Irvan dengan nada sumringah yang tak ditutup-tutupi. "Udah, Adek nggak boleh nangis lagi. Kalian jangan lupa makan. Abang sama Adek juga tidur siang, ya."
"Iya Om. Hati-hati di jalan."
"Pasti, Jagoan."
***
Addar memilih menggunakan kereta untuk pergi ke tempat tujuannya. Bibirnya tidak berhenti tersungging ketika melihat penampilan perempuan di hadapannya. Dan seolah semesta merestui rencananya, Siti tak ambil pusing ketika Tika meminta izin untuk tidak masuk kerja hingga esok hari.
"Apa sebenarnya rencana kamu? Kalau sampai membuat Mbak Siti celaka, aku nggak mau."
"Aku nggak mungkin mencelakai Siti dan meninggalkan jejak untuk istriku. Dia bisa mencak-mencak kalau tahu aku masih ngejar Siti," jawab Addar. "Kamu tenang aja. Aku nggak akan minta kamu racun calon suaminya juga. Aku butuh kamu untukku, dan sewaktu-waktu untuk dijadikan pion menghancurkan pernikahan mereka."
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan?"
"Permainan di atas ranjang."
***
Irvan mengelus rambut Akbar ketika anak lelaki itu duduk di sampingnya. Sementara si kecil Yasna sudah terlelap bersama Ibu, tak lama sejak ia hadir di sana. Dan Siti tengah berada di belakang, mencuci bekas makan siang mereka mungkin.
"Rasanya Om udah lama belum dengar cerita kamu di sekolah kayak gimana," ucapnya.
"Biasa aja, Om."
Ini bukan jawaban yang sering mampir ke telinganya. Biasanya anak lelaki itu selalu berceloteh tentang apa saja yang terjadi di sekolah, lengkap dari mulai masuk kelas hingga pulang.
"Om tahu siapa yang mau bunuh Om?"
Irvan terkejut, "Siapa yang bilang mau bunuh Om?"
Setahu Irvan, selama ia menjadi dokter, ia tak pernah memiliki kesalahan apapun sehingga pasiennya berniat untuk balas dendam dengan cara membunuhnya. Dengan kolega bisnis? Ia bahkan hanya gemar menanam saham tanpa memusingkang untung atau rugi. Dan soal perempuan? Irvan bahkan baru kali ini dekat dengan lawan jenis lebih dari pertemanan biasa.
"Adek nggak cerita apa-apa juga ternyata."
"Jadi Adek yang bilang ada orang yang mau membunuh Om?"
Akbar mengangguk, "Tapi Om kan orang baik. Nggak mungkin Om punya musuh. Kecuali..."
"Kecuali?"
"Kecuali ada orang yang nggak suka sama Om."
Irvan mengangguk paham. Tetapi ia enggan berspekulasi lebih dan mengikuti kata hatinya, ia tak ingin menaruh curiga terhadap siapapun. Maka ia bertanya, "Kira-kira, siapa yang mau membunuh Om karena nggak suka sama Om? Padahal Om merasa nggak melakukan apapun."
"Abang nggak mau bilang ini. Tapi dari dulu, yang selalu bikin Adek nangis dan jadi pemurung cuma Ayah," jawab Akbar. "Abang tahu sifat Ayah, Ayah pasti nggak suka kalau Bunda mau menikah lagi. Tapi, Ayah tahu nggak ya kalau Bunda mau menikah? Ah, besok deh Abang minta ketemuan sama Ayah."
Irvan mengacak rambut anak lelakinya itu, "Iya. Daripada Abang menuduh yang enggak-enggak. Lagipula Abang sama Adek udah lama nggak ketemu sama Ayah, ya?"
"Iya, Om." Jawab Akbar. Baru beberapa menit keheningan mengisi keduanya, Akbar berkata, "Om, Abang boleh minta sesuatu sama Om?"
"Apa, Sayang?"
"Kalau Bunda menikah lagi, Abang sama Adek bakalan punya adik baru?"
"Tergantung, Sayang. Kalau Allah ngasih kepercayaan untuk Om dan Bunda, pasti kalian punya adik lagi."
"Abang nggak mau punya adik bayi lagi," jawab Akbar. "Abang nggak mau punya adik baru terus Om bawa Mama baru juga ke rumah. Abang nggak mau merasakan hal itu lagi, apalagi harus melihat Bunda dan Adek selalu nangis setiap hari."
Irvan menatap Akbar cukup lama. Ia bahkan dapat merasakan jika anak lelaki itu memendam luka yang selalu ditutupinya sejak dulu. Kian kemari, ia jadi tahu betapa ada banyak luka yang diciptakan lelaki itu di kehidupan mereka bertiga.
"Om nggak bisa janji akan menuruti keinginan kamu, Bang. Allah yang punya keputusan nantinya, dan kalaupun memang Abang sama Adek punya adik baru, Om akan menjamin apa yang Abang takutkan nggak akan terjadi," jawab Irvan. "Tapi kalau Om boleh jujur, Abang dan Adek saja sudah cukup untuk kebahagiaan Om. Nggak ada adik bayi pun nggak apa-apa."
"Om, kalau selama ini Adek yang selalu nempel sama Om dan sering menunjukkan perasaannya. Om harus tahu, Abang juga sayang sama Om lebih dari rasa sayang Adek untuk Om," ucap Akbar sambil beringsut memeluknya. "Tapi Abang membiarkan Adek dekat sama Om karena Abang tahu, Adek lebih butuh Om daripada Abang."
"Nggak ada istilah siapa yang lebih membutuhkan siapa, Bang. Kita sama-sama membutuhkan, dan Om akan selalu ada untuk kalian meskipun kalian bertiga berkata tidak memerlukan Om lagi," balas Irvan.
"Om harus pintar jaga diri, ya. Terlepas dari siapapun yang ingin membunuh Om, Om harus selalu ingat kalau Bunda, Abang, dan Adek, nggak mau kehilangan Om."
Mendengar itu, Irvan mendaratkan kecupannya di dahi Akbar. Hatinya menghangat.
***
Siapa nih yang tadi minta double update? Kebetulan aku lagi bhaiq jadi dikabulin, biasanya kan aku ngibulin mulu😂😂
Salam cinta Shubuh,
Jihan F. Djayawisastra.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...