Sore itu, Siti dikejutkan dengan pengunjung yang memaksa ingin dilayani langsung oleh pemilik cafe. Tika, yang membawakan pesanan pengunjung itu terpaksa kembali dan melaporkannya pada Siti. Jadilah Siti turun tangan kembali, terlebih ketika mendengar bahwa pengunjungnya ialah seorang wanita paruh baya.
"Bawakan saya segelas susu hangat," pintanya begitu Siti baru tiba di sana. Siti mengangguk dan kembali berlalu. Siti merasa wanita yang memakai jilbab toska itu baru pertama kali mengunjungi cafe-nya. Terbukti dari tingkahnya yang meneliti tiap sudut ruangan. Meski nadanya terdengar garang, tetapi Siti dapat melihat raut keibuan yang kentara.
"Silakan diminum, Bu," ucap Siti ketika menaruh pesanannya.
Wanita itu meneguknya, lalu menatap Siti tajam, "Saya tidak meminta susu manis. Ganti, dan bawakan juga seporsi ayam penyet!"
"Maaf, Bu, kami tidak menyediakan menu itu. Tetapi chicken katsu mungkin cocok untuk Ibu," jawab Siti halus.
"Bawakan saja!"
Siti kembali menuju dapur dengan nampan berisi segelas susu yang baru sekali diteguk wanita itu dan meminta pegawai menyiapkan apa yang diminta wanita itu. Setelah selesai, Siti kembali membawakan apa yang diminta si wanita. Tetapi wanita berjilbab toska itu meminta ditukar dengan menu yang serupa dengan apa yang tersaji di meja sebelah; ramen.
Siti menurut dan membawakan apa yang dimintanya, biar bagaimanapun ia harus memenuhi kenyamanan para pelanggannya.
"Kamu ini mau bikin saya sakit perut? Makanan ini terlalu pedas untuk saya," sentaknya galak. "Ambilkan saya es teh manis."
Siti lagi-lagi kembali ke dapur sambil menghembuskan napas berat. Para pegawai yang menyaksikannya mencegah Siti melayani perempuan tua yang menjengkelkan itu, tetapi Siti berjanji bahwa teh manis itu akan menjadi pesanan terakhir yang diantarnya.
Siti berjalan mendekat ke arah perempuan yang tengah menunggunya, begitu Siti menyajikan pesanan wanita itu, dia tersenyum dan berkata dengan lembut, "Saya suka sama kamu. Kapan kamu akan main ke rumah?"
Siti mengernyit, wanita di hadapannya tampak seperti memiliki kepribadian ganda. Jadi dengan pelan ia bergumam, "Maaf, maksud Ibu?"
"Sini, temani Ibu duduk dulu," pintanya sambil menepuk kursi di sampingnya. Meski was-was, Siti tetap menuruti permintaan wanita itu. Tetapi, baru saja duduk, wanita berjilbab toska itu mengabaikannya dengan menelepon seseorang dan berkata, "Jangan susah-susah nyari Ibu. Ibu lagi di tempat pacar kamu."
Wanita itu menikmati es teh manis yang disajikan Siti. "Rara bilang kalau anak lelaki saya sering berkunjung ke cafe ini untuk bertemu pacarnya. Tapi anak lelaki saya itu gak mau ngajak pacarnya main ke rumah. Saya jadi kesal dan melampiaskannya sama kamu."
Siti tak tahu harus berkata apa, tetapi begitu seorang lelaki menghampiri meja mereka dengan napas terengah-engah, Siti tahu siapa dalang dibalik ini semua.
"Ibu kenapa pergi dari rumah nggak bilang sama Irvan?" Tanya Irvan dengan raut yang tak dibuat-buat. Lelaki itu tak pandai berbohong, mustahil rasanya jika Irvan menjahilinya dan menyuruh ibunya untuk membuatnya kesal.
"Kali ini, Ibu suka sama pilihan kamu. Jadi kapan kalian berdua menikah?" Tanya sang ibu sembari melirik ke arah anak muda di depannya.
Irvan cemberut, "Kalau Ibu turun tangan, yang ada pilihanku jadi nggak mau diajak nikah. Siti, kamu udah diapain aja sama Ibu aku?-"
"Kita mungkin perlu berdiskusi dulu, Bu. Ibu juga belum bertemu putra dan putri saya," ucapan Siti yang memutus perkataan Irvan membuat lelaki itu tersenyum lebar. Irvan mengerti kemana maksud ucapan perempuan itu. Senyum sumringah Irvan hanya sebentar karena selanjutnya ia mengaduh begitu sang ibu mencubit pipinya gemas. Biar bagaimanapun, lelaki dewasa itu tetap saja seorang anak lelaki dimata ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...