Naufal menatap gundukan tanah merah di hadapannya dengan nanar. Kesedihan bergumul di ujung tenggorokannya, namun ia tak menangis. Tak ada air mata yang turun membasahi kedua pipinya yang kini tirus. Jemarinya menaburkan bunga, sesekali mengusap nisan bertuliskan namanya, nama yang akan selalu membekas dalam hatinya; dalam hidupnya.
Dalam tangisnya yang diam, Naufal merasakan ada tangan yang mengelus punggungnya pelan. Tanpa melirik pun ia tahu, Akbar pelakunya. Sebab adik perempuannya hanya berdiri di ujung makam, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Sebagai lelaki, tak apa kalau Opal mau menangis. Wajar kalau kita menitikan air mata karena sakit dan kehilangan, asal tidak terlalu lama larut dalam kepedihan."
Irvan turut berjongkok di sampingnya, mengusap puncak kepalanya yang menunduk. Tapi meskipun dibujuk, ia enggan menangis. Barangkali kehilangan sudah menyumbat kantung air matanya. Ia menggeleng pelan, kembali meneliti nisan di hadapannya dengan pandangan tak terdeskripsikan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah ia merasa kehilangan?
"Opal..."
Naufal menyahut. "Iya, Bu?"
"Opal masih mau di sini?"
Anak lelaki itu bungkam. Ia menimbang apakah tak mengapa jika ia cepat-cepat meninggalkan pusara itu. Apakah seseorang di dalamnya tak akan marah?
"Opal," ia menoleh pada seseorang yang sedari tadi hanya menatap dirinya dalam diam. Ia duduk di atas kursi roda, ada Yasna berdiri di sampingnya. Perlahan, senyum tipis Opal terbit. Setidaknya masih ada lelaki itu yang menjadi tumpuannya. Meski sekarang lelaki itu tak dapat mengantarnya ke sekolah, tak dapat melangkahkan kakinya dengan bebas setelah kecelakaan beberapa waktu lalu. "Ayo pulang sama Abah."
"Opal boleh nginep di rumah Ibu? Sehariiiii aja."
Addar menatap Irvan dan Siti dengan canggung, "Opal belum minta izin sama Ibu, sama Ayah juga."
Naufal menoleh kepada keduanya sambil melemparkan tatapan memohon yang sangat, sementara Irvan dan Siti seakan sengaja mengulur waktu untuk menjawab permohonan tersirat itu. Naufal memutuskan untuk menunduk, kehadirannya memang tak pernah diterima dengan mudah. Lalu pandangannya beralih pada adik perempuannya.
"Boleh dong, Pa. Abang ingin tidur sama Opal lagi, kayak dulu."
"Boleh, boleh. Tapi... " jawab Irvan menggantung, sementara Akbar sudah tak sabar mendengarnya.
"Tapi?"
"Tapi nggak boleh cuma semalam. Minimal tiga malam, ya."
Akhirnya anak lelaki itu tersenyum sumringah. Sejenak Naufal melihat ke arah Yasna, perempuan itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Naufal tahu, masih ada keengganan di matanya. Ia tersenyum tipis.
"Abah gimana?"
"Abah gak apa-apa, Pal. Ada bibi."
Sekali lagi Naufal tersenyum semringah. Ia menatap nisan di atas gundukan tanah merah yang masih basah. Tertulis Ayudia di sana. Diusapnya sekali lagi nisan tersebut sambil berbisik, "Sekarang Mamah bisa sama-sama sama De Addy lagi."
Akhirnya ia benar-benar bangkit dan mendorong kursi roda Addar untuk beranjak dari sana. Meskipun Irvan menawarkan bantuan dan Addar mampu melakukannya seorang diri, Naufal tetap ingin mendorongnya hingga mendekati mobil Irvan. Irvan memang meminjamkannya mobil berikut sopir begitu mengetahui bahwa salah satu pasien tabrak lari yang meninggal di rumah sakit ialah Ayu.
"Opal ikut sama Ibu ya, Bah. Nanti Opal bakal rajin video call Abah pakai HP Ibu."
Addar mengangguk dan mengusap puncak kepalanya sebentar. Anak lelaki itu lantas beringsut memeluknya. "Sudah, sudah. Jangan nakal di rumah Ibu."
Naufal mengangguk dan melepaskan pelukannya sebelum menutup pintu. Ia melambaikan tangan ke arah lelaki itu. Sementara diam-diam Addar meneliti bagaimana Siti berinteraksi dengan Irvan dan anak-anak mereka. Lalu pada Irvan yang masih saja berlaku baik padanya. Ia menghela napas, mungkin sudah saatnya ia menyerah. Lagipula Siti terlalu sempurna untuknya yang kini tak dapat berjalan dan selalu membutuhkan bantuan. Sekali lagi ia menatap Siti dan keluarganya, Irvan tengah mengangkat Yasna ke pangkuannya. Anak perempuan itu menempel padanya seperti anak koala. Hal itu memukulnya telak. Ia tak pernah mendapat pelukan seperti itu. Barangkali ia memang tak pernah pantas menjadi ayahnya, juga menjadi suami dari perempuan yang dicintainya.
THE END
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...