Part 48: Truth

5.8K 520 66
                                    

Irvan mengamati wajah Siti yang tampak muram setelah sore tadi pulang dari kafe. Perempuan itu tengah mengaduk isi panci yang menguarkan aroma sop buntut. Bibirnya terkatup rapat dan matanya fokus pada benda di hadapannya. Mengabaikan keberadaan Irvan sebagai suami di sana. Bukan berarti lelaki itu ingin jadi pusat perhatian, tetapi sikap perempuan itu jelas mengganggunya.

Ia mengetukkan jemarinya di atas meja, mencoba membuat irama seraya mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah diperbuatnya kemarin hingga pagi tadi. Irvan merasa semua kehidupannya normal, justru seharusnya ia yang melakukan aksi protes atas kejadian siang menjelang sore ini. Apa kemuraman Siti ada sangkut pautnya dengan peristiwa tadi itu?

"Kenapa, Mas?"

"Nggak apa-apa," jawab Irvan seraya kembali merenung dan menatap Siti dalam. "Mas panggil anak-anak dulu, ya."

Siti mengangkat sebelah alisnya, bertanya-tanya pada tingkah aneh Irvan malam ini. Lelaki itu terlihat berlalu menuju lantai dua, lalu tak lama kemudian anak-anak menghambur menghampirinya sebelum mendekat ke arah meja makan. Tapi Irvan tidak kembali. Jelas ada yang salah dengan lelaki itu, ada yang tengah mengusik pikirannya.

"Papa mana, Nak?"

"Papa katanya angkat telepon dulu, Bunda," jawab si sulung yang sudah duduk di kursi makannya. Siti mengangguk sambil tersenyum pelan, "Bunda, Bunda, tadi sebelum pulang sekolah, Abang lihat pemulung di seberang jalan. Adek lihat juga, kan?"

"Iya, Bunda. Tapi Adek kayaknya nggak asing sama ibu-ibu itu."

"Abang juga sama, loh. Abang merasa kenal banget."

"Mungkin hanya perasaan kalian aja," timpal suara berat itu dari arah lorong. Irvan bergabung di meja makan dengan anak-anaknya.

"Tapi... Bisa juga ya, Pa. Soalnya ibu-ibu itu lagi nyari sesuatu di tong sampah, terus masukin sesuatu ke mulutnya."

"Abang, Adek, nggak semua orang di dunia ini bernasib sama. Makanya kita mesti pandai bersyukur, ya. Abang sama Adek nggak pernah sampai makan makanan kotor seperti itu," ucap Siti sembari ikut bergabung juga di meja makan.

Tidak ada lagi yang bersuara, meja makan itu hening ketika mereka bersantap. Sudah menjadi kebiasaan dan peraturan yang mereka sepakati sejak awal. Hingga beberapa menit berikutnya, makanan di atas meja sudah tandas; menyisakan piring-piring kotor yang dibawa Siti menuju kitchen sink. Siti tidak segera mencucinya, dan hal itu tidak luput dari pengamatan Irvan.

Baru setelah mereka memasuki kamar dan telah memakai kostum tidur masing-masing, Irvan tak tahan lagi memendamnya dan berspekulasi sedemikian rupa. Ia tak ingin berburuk sangka, terlebih kepada istrinya sendiri.

"Ti, ada apa?"

Siti yang baru duduk di tepian ranjang menoleh, ke arah Irvan yang sudah bersandar di kepala ranjang. Ia mendekat ke arah lelaki itu dan memutuskan rebah di atas perut ratanya. Jemari besar Irvan terulur, mengusap helai rambut hitam istrinya lembut. Demi apapun ia tak ingin kehilangannya.

"Rasanya akhir-akhir ini aku agak melankolis, Mas."

"Kamu hamil?"

Siti mendongak menatap mata lelaki itu, "Kan kemarin sempat dicek, hasilnya negatif."

"Testpack kadang nggak akurat, Ti. Makanya Mas ajak kamu periksa ke obgyn," jawab Irvan. "Mau ya diperiksa ke dokter besok?"

Siti justru cemberut, lalu menuding, "Mas nggak peka."

"Lebih baik. Jawaban yang ingin Mas katakan sebenarnya justru bukan itu, Ti," timpalnya setengah menggumam.

"Mas aneh banget hari ini. Kenapa?"

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang