35: Rasa Sakit

5K 647 65
                                    

Addar termenung menatap istri dan anaknya yang terlelap di atas ranjang. Sudah dua hari ini ia tidak dapat tidur, barang sejenak saja kantuk seakan enggan hinggap pada matanya. Pikirannya jelas bercabang. Kehilangan bukan perkara yang mudah dihadapi, terlebih kehilangannya ini menyangkut ladang usahanya.

Selama dua hari ini pula Addar tak bisa pergi kemana-mana, bahkan hanya sekadar pergi ke Jogja dan menengok insiden kebakaran pun ia tak bisa. Naufal meminta ditemani. Lalu bagaimana bisa ia menolak keinginan anak lelakinya—satu-satunya anak yang tersisa di rumah mewah mereka? Tetapi ketika bayangan Siti berkelebat, ulu hatinya perlahan berdenyut. Mengapa ia tak mampu menolak keinginan Naufal sedangkan ia memperlakukan Yasna begitu sebaliknya? Ia bisa meninggalkan Yasna sejak kecil—bahkan ketika anak itu berada dalam kandungan Siti, dan lebih mementingkan Naufal. Seberapa berarti anak itu untuknya? Ia bertanya pada dirinya sendiri, tanpa menginginkan jawaban yang lebih dari itu.

Addar memutuskan bangkit dan berjalan menuju ruang kerjanya. Sepi dan terasa pengap, seakan tak pernah dibersihkan oleh asisten rumah tangga. Sedetik kemudian ia meringis, sejak dulu Siti yang meminta Bi Diah untuk tidak membersihkan lantai dua. Biar bagaimanapun perempuan itu tetap menaruh perhatian pada Bi Diah yang sudah berumur, tak tega ia meminta Bibi membersihkan seluruh area rumah sendirian.

Semakin masuk ke dalam, ia semakin meringis. Dulu, ruangan ini—dan seluruh ruangan di lantai dua, tak pernah dipenuhi debu. Tetapi sekarang, Addar sampai harus menutup hidung. Jika bukan untuk memandangi foto pernikahannya dengan Siti—yang belum pernah dilepaskannya dari dinding ruang kerja, ia enggan masuk ke dalam.

Ia mengusap wajah Siti yang tidak berubah sampai sekarang. Masih sama cantiknya, hanya sekarang pipinya terlihat agak tembam. Semakin cantik, semakin membuatnya tergila-gila.

Ah, Addar jadi merindukan sosok Siti yang sabar, yang penuh perhatian dan kelembutan. Ia ingin kembali mendekap tubuhnya erat, menghidu aromanya yang harum dan kerap membekas di bantal serta ranjang tidur mereka. Betapa ia rindu pada perempuan yang pintar merawat diri dan suami, serta merawat seluruh kebutuhan rumahnya. Rasa rindu mungkin sudah membuatnya gila, sampai-sampai menciumi paras cantik yang terbingkai pigura hitam itu. Ia tak peduli bibirnya akan dikotori debu dan dirayapi bakteri. Ia ingin Siti kembali.

Maka di tengah kegilaannya itu, ia merogoh saku celana dan mengeluarkan isinya. Pada benda pipih itu ia mencari-cari sebuah nama sebelum menekan tombol panggil. Begitu tersambung, ia mengucap salam dan berkata, "Aku ingin berpisah sama Ayu, Mah."

Dapat Addar tebak jika sekarang ibu tirinya itu tengah mengerutkan dahi, "Kamu ndak lagi ngigau kan, Le?"

"Enggak, Mah. Aku bahkan gak bisa tidur beberapa hari ini," jawabnya menyampaikan keluh kesah—untuk pertama kalinya kepada perempuan itu. "Pikiranku kacau..."

"Le, karena pikiran kamu lagi ndak tentu arah, ada baiknya kamu dan Ayu pikir-pikir dulu sebelum mengambil tindakan," jawab Mamah Vania memperingati.

"Aku udah nggak tahan, Mah."

Mamah Vania menghela napas, "Nggak tahan hidup sama Ayu atau nggak tahan karena menahan rindu sama yang lain?"

"Dua-duanya," cicit Addar setengah frustasi. Matanya kembali memandangi wajah cantik Siti, kemudian memeluknya erat.

Mamah Vania mendesah berat, "Mamah ndak ngerti sama jalan pikiranmu, Le. Ketika Siti masih jadi istrimu, kamu justru terkesan lebih mementingkan Ayu. Giliran sekarang tinggal Ayu, kamu jadi mau balik sama Siti lagi. Le, ndak semua poligami itu berhasil, terutama kalau caranya ikutin nafsu."

"Tapi..."

"Tapi kenapa Abi bisa mendua dan kedua istrinya bisa tinggal satu rumah? Itu kan yang mau kamu ketahui sejak dulu?" Potong Mamah Vania. "Karena Abi ndak sepenuhnya mencintai Mamah. Abi menikahi Mamah karena Umi kamu yang meminta. Saat itu Mamah—yang yatim piatu, bekerja sebagai pengasuh kamu dan Mas Abrar. Belum lama Mamah bekerja di rumahmu, desas-desus mulai beredar di masyarakat sementara Abi dan Umi ndak tega jika harus memecat Mamah. Maka Abi menikahi Mamah karena betul-betul ingin menolong sekaligus menghindari fitnah, tidak ada nafsu sama sekali. Karena itu pula Abi sering meminta maaf karena tidak bisa berlaku adil, yang kemudian Mamah ketahui jika Abi sama sekali tidak bisa membagi hatinya kepada perempuan lain selain Umi."

"Jadi..." Addar tergagap. Ia kira selama ini mendiang Abi yang membawa perempuan asing itu ke rumah mereka. Tetapi kenyataannya sangat lain dari apa yang selama ini ada di dalam pikirannya. "Abi tidak mencintai Mamah?"

"Abi tidak pernah mengatakan itu," jawab Mamah Vania. "Itu sebabnya kamu tidak akan pernah bisa membuat Ayu dan Siti berada dalam satu atap. Kamu tidak bisa adil, Le."

"Tapi Abi ju—"

"Kecuali soal perasaan, Abi memperlakukan kami dengan adil, Le. Jangan pernah samakan hubungan kamu dengan pernikahan Abi," ujarnya. "Mamah mau tahu, alasan kamu ingin bercerai dengan istrimu (lagi) untuk mengejar Siti agar kembali rujuk atau ada alasan lain?"

"Aku ingin Siti kembali, Mah."

"Ndak akan bisa, Le."

"Karena aku udah terlalu menyakiti Siti dan anak-anak?" Tapi Addar tidak mendapatkan jawaban. "Atau karena usahaku di Jogja bangkrut hingga terkesan nggak mampu membiayai mereka lagi? Atau karena Ayu dan Naufal? Sekalipun bercerai, aku nggak akan bisa melenyapkan mereka—"

"Kamu sendiri tahu Siti bukan orang seperti itu, Le," jawab Mamah Vania. "Tapi Siti akan menikah—"

"TIDAK MUNGKIN!"

Addar berucap seraya bangkit berdiri, membuat pigura yang sedari tadi di dekapnya hancur berserakan di atas lantai. Ini benar-benar lelucon untuknya! Sitinya yang cantik dan luar biasa hanyalah miliknya seorang.

"Bercandaan Mamah nggak lucu," ucap Addar. "Aku bahkan beberapa kali ketemu Siti dan gak ada yang berubah. Siti masih lajang."

"Mamah ndak bercanda, Le. Siti sebentar lagi akan menikah dengan—"

"Mah, ini memang sudah larut. Sebaiknya kita berdua beristirahat agar ucapan kita sedikit masuk akal," jawab Addar. "Aku pamit. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullah."

Usai menutup telepon, Addar kembali memungut lembar foto di atas lantai, kemudian berjalan menuju sofa di sudut ruangan dan memutuskan untuk tertidur.

Sebelum benar-benar terlelap, ia mengecup wajah Siti dan berucap, "Ini pasti mimpi. Bukan begitu, Sayang?"

***

Maaf baru bisa update🙏🙏

[Bukan] Wisma Impian - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang