Tika yang berasal di area kasir mendadak terkesiap melihat dua orang yang datang dari arah pintu masuk kafe. Si lelaki yang ia ketahui adalah suami baru Siti melingkarkan tangan di pinggang majikannya itu. Ia tak dapat menampik jika Siti yang kini tengah tertawa memang sangat cantik, tak heran apabila mantan suaminya menghalalkan segala cara untuk memilikinya kembali. Lalu pandangannya beralih pada suami baru Siti yang sedang berbisik di telinga perempuan berjilbab hijau tosca itu, keduanya tampak kembali tertawa dan terlihat bahagia.
Seketika ia bingung, kenapa keduanya tampak biasa saja? Bukankah majikannya itu sudah membaca semua pesan yang dikirimkannya? Tapi...
"Tika, bisa ikut kami sebentar?"
Pertanyaan dari si lelaki membuat Tika jadi panas dingin. Bukan hanya pertanyaan itu mengandung makna lain, yang artinya sesuatu kebenaran mengintai dibalik pertanyaan itu. Tetapi juga karena lelaki tampan di hadapannya memiliki tubuh kekar yang dibungkus kemeja warna biru muda yang pas di tubuhnya. Bahkan lelaki bertubuh atletis itu bertanya padanya dengan nada lembut. Ia merasa Siti beruntung dinikahi lelaki sepertinya.
"Tika, kamu dengar apa yang saya tanyakan?" ulang lelaki itu lagi.
Tetapi bukannya menjawab, Tika malah menangis tersedu-sedu dan memeluk kedua kaki Siti erat. "Mbak, aku minta maaf..."
"Tika, ayo bangun! Kamu nggak perlu seperti ini," ucap Siti sambil membantu Tika berdiri kembali. Perempuan itu lantas memeluk Tika erat. "Kita ngobrol di lantai atas, ya. Pengunjung udah mulai berdatangan."
Selama perjalanan dari lantai bawah menuju lantai atas, Tika tidak berhenti menangis. Tangis penyesalannya sesekali membuat tubuh cenderung kurus itu hendak limbung. Beruntung Irvan yang berada di belakang mereka Turut membantu.
"Mbak, Mas, aku minta maaf. Aku terpaksa melakukannya," isak Tika begitu mereka tiba di sebuah ruangan di lantai atas yang hanya berisikan dua kursi dan sebuah dispenser saja. Siti mendudukkan Tika di sana meski berkali-kali perempuan itu menjatuhkan diri dan kembali memeluk kakinya.
"Mbak maafin," jawab Siti sambil mengelus punggung Tika. "Mbak maafin kamu karena Mbak sudah cek, semua itu hanya jebakan. Lelaki itu bukan Mas Irvan, bukan suami Mbak. Benar, kan?"
Tika mengangguk, dan dalam isak tangisnya yang memilukan, dia berkata, "Aku melakukannya dengan Mas Addar..."
Irvan yang sedari dari memilih bungkam beranjak mendekati dispenser di pojok ruangan. Usai mengisi gelas dengan air, ia kembali mendekati keduanya dan merangkul pundak Siti yang tengah dipeluk Tika sembari duduk. "Beri Tika minum dulu, Sayang. Dia udah sesengukan begitu.
"Ayo, Tika. Minum dulu," ucap Irvan. Tika manut dan menggumamkan terima kasih.
"Kamu sudah memaafkan perbuatan kamu. Tapi kami ingin tahu, kenapa kamu mau melakukan hal tidak baik ini?" tanya Irvan.
"Aku perlu uang, Mas. Ibu mengidap batu ginjal dan harus segera dioperasi, upah kerjaku di sini hanya sanggup menutupi hutang-hutang Bapak, dan pekerjaan sambilanku di tempat karaoke selalu habis dipakai kebutuhan sehari-hari."
"Kamu kerja sambilan juga di tempat karaoke? Jadi pengiring lagu, maksudnya?"
Dalam tunduknya, Tika mengangguk, "Di sana juga Mas Addar bertemu denganku. Mas Addar menggodaku dan menjanjikan sejumlah uang jika aku mau melakukan sesuatu untuknya. Aku kira Mas Addar ingin mencelakai kalian atau merayu Mas karena dia selalu menyuruhku untuk memantau tempat-tempat yang akan Mas dan Mbak kunjungi. Tapi... dia benar-benar berengsek. Dia menginginkan kehormatanku, dan aku tidak bisa mundur. Dia selalu membaca-bawa kondisi Ibu, Mbak..."
"Kenapa kamu nggak berpikir untuk meminjam uang kepada Mbak?" tanya Siti akhirnya. "Kalau kamu bilang Ibumu harus secepatnya dioperasi, Mbak pasti memberi bantuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...