Addar tengah menimang-nimang Addy dan mengajak Naufal bercerita ketika Ayu keluar dari kamar mandi. Perempuan itu mengaduh ketika duduk di kursi meja rias.
"Ibu kenapa?" Tanya Naufal sambil sesekali melirik ke arah Addar.
"Jahitannya masih sakit, Ay?" Addar ikut menimpali. Lelaki itu juga menyertakan nada khawatir di dalam kalimatnya.
"Nggak, Mas. Tapi ada luka lepuh di sekitar itu," ucapnya sambil meringis. "Kayaknya aku kena cacar api deh, Mas. Dulu juga sekitaran bibirku pernah kayak gini."
"Besok kita ke rumah sakit ya, Ay. Mas juga agak nggak enak badan," imbuh Addar, kemudian membiarkan hening merayap di antara mereka. "Kamu bisa gendong Addy sebentar, Ay? Mas harus menghubungi seseorang."
"Tidurin di box aja, Mas. Aku mau langsung tidur aja," ucap Ayu sambil beringsut mendekati Naufal yang tengah berbaring di ranjang mereka. "Ayo tidur sama Ibu, Pal. Udah malam."
Addar menyempatkan diri mengecup kening kedua orang yang disayanginya sebelum keluar dari kamar mereka. Kamar utama yang sempat dijadikan ruang paling privat antara ia dan Siti.
Addar menuruni tangga dan harus menelan pil kesepian yang menghuni lantai satu. ART yang hanya tinggal seorang jelas menempati bagian belakang rumah, Mang Toha juga mengundurkan diri tak lama setelah sidang perceraiannya usai. Ia memutuskan untuk duduk di meja makan yang terasa semakin lapang karena kosong. Selama Siti menempati rumah ini, perempuan itu tak pernah absen mengisi tengah-tengah meja makan dengan beberapa jenis buah-buahan. Jika suatu waktu ia tak dapat tidur seperti sekarang, ia bisa menjejalkan sesuatu ke dalam perutnya agar mempercepat kantuk.
Sekarang ia hanya dapat memakan angin, dan ia harus merasa puas. Ayu yang masih sibuk mengurusi Addy jelas tak akan sempat meluangkan waktu hanya untuk memerhatikan meja makan. Tetapi, hati kecilnya menginterupsi, Siti bisa melakukannya meski anak-anaknya masih sangat kecil. Ia tak pernah lalai memperhatikan hal-hal kecil yang menjadi bagian dari tugasnya sebagai seorang istri, sekalipun ia harus bangun malam demi anak mereka.
Seketika ia teringat niatnya turun ke lantai satu; menelepon seseorang. Dan Siti memang tujuannya sejak tadi. Jadi ditekannya nomor itu guna menyambung panggilan.
Bak gayung bersambut, kali ini Siti menerima panggilan pertamanya. Ia sampai tersenyum lebar ketika Siti mengucapkan salam dan menyuruhnya untuk menunggu sebentar. Ingin rasanya Addar menjawab bahwa sampai kapanpun ia siap menunggunya. Namun terdengar terlalu mendramatisir keadaan. Setidaknya ini adalah langkah awal untuk membuat Siti kembali padanya. Menghangatkan hati dan rumahnya.
"Ayah," ucap suara yang begitu di kenalnya.
"Iya, Sayang. Kok Abay belum tidur?" Tanya Addar lembut.
"Abang mau minta maaf udah kasar sama Ayah. Ayah mau kan maafin Abang?"
"Maafin Adek juga..." tambah suara anak perempuannya.
Addar bersorak senang seperti habis memenangkan lotere berhadiah jutaan rupiah. Meski rasa bahagianya itu ditutupi hanya dengan beberapa penggal kata, "Ayah udah maafin kalian."
"Ayah kok belum tidur?"
"Ayah masih belum ngantuk," jawab Addar. "Hari ini Ayah kangen banget sama kalian. Ayah udah lama gak lihat kalian di cafe. Bunda juga katanya jarang ke sana."
"Iya, kami lagi liburan," jawab Akbar. Lalu samar-samar Addar mendengar suara lain disusul suara Akbar yang berkata 'Abang ikut, Om!', dan dengan cepat anak lelaki itu pamit, "Ayah, udah dulu ya. Daah. Good night."
Lalu sambungan telepon diputus secara sepihak. Meski begitu Addar tetap tersenyum. Setidaknya anak-anak mereka sudah kembali. Karenanya Addar merasa bersyukur, Tuhan telah mengabulkan keinginannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Bukan] Wisma Impian - REVISI
SpiritualKetika wisma impian yang didambakan Siti Sabiya sejak masih gadis terwujud, ternyata bukan lagi perekonomian yang menguji kehidupannya. Melainkan pernikahannya. Ujian itu datang dari orang terdekatnya, Addar Quthni-suaminya, panutannya, imamnya, pem...